OLEH: Khoeri Abdul Muid
Bau arang yang terbakar, menyatu dengan aroma gurih daging ayam, menggugah selera di malam yang hening itu. Di pinggir jalan, seorang lelaki sederhana tampak duduk jongkok, menikmati setiap suapan sate ayam dengan sepenuh hati. Sepintas, siapa pun yang melihat pasti tak akan menyangka---ia adalah Ir. Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia.
Sore itu, 18 Agustus 1945, udara Jakarta mendung dan panas. Di dalam gedung yang sekarang dikenal sebagai Gedung Pancasila, rapat PPKI baru saja usai. Rapat yang menetapkan Ir. Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia yang baru merdeka sehari sebelumnya. Di dalam ruangan yang penuh ketegangan dan kelelahan, Soekarno baru saja mengucapkan pidato singkat, mengisyaratkan awal dari perjuangan panjang sebuah bangsa yang masih bayi.
Namun, siapa yang tahu? Hanya berselang beberapa jam setelah penetapan itu, Presiden baru ini berjalan kaki pulang. Belum ada kendaraan dinas, belum ada pengawalan mentereng. Sebagai pemimpin sebuah negara yang baru merdeka, ia masih harus melewati jalan berkerikil, dengan setelan putih yang sudah lusuh tertimpa peluh dan debu.
Di tepi jalan, Soekarno terhenti. Seorang pedagang sate ayam tengah sibuk melayani beberapa pelanggan. Lelaki itu berjongkok sambil mengipasi arang. Bau harum sate yang dibakar menusuk perut yang sejak tadi pagi belum terisi.
"Pak, sate ayamnya berapa?" tanya Soekarno, suaranya lantang namun lembut.
Pedagang sate itu menatapnya heran. "Lima puluh tusuk, Tuan?" tanyanya, memastikan bahwa telinganya tak salah dengar.
Soekarno tersenyum kecil, mengangguk. "Betul, lima puluh tusuk. Saya lapar sekali."
Beberapa orang yang duduk di sekitar warung sate itu mulai menyadari kehadirannya. Mereka berbisik-bisik, tak percaya melihat sosok yang mereka dengar baru saja diangkat sebagai Presiden, kini duduk jongkok di pinggir jalan, menyantap sate ayam tanpa canggung.
Dengan cara bersahaja, Soekarno menyantap sate ayam itu, satu demi satu tusuk sate diangkat ke mulutnya, dinikmati dengan penuh syukur. Tanpa kursi mewah, tanpa pengawalan ketat, ia menikmati sate ayam di tepi jalan, dekat got yang berbau tak sedap. Inilah potret pemimpin yang lahir dari rahim bangsa yang penuh pengorbanan.