"Aku... baik-baik aja sekarang," ujarnya sambil memaksa senyum yang nyaris tak terlihat. Namun, pandangan mata Andre yang lelah tak bisa menipu.
Laras tersenyum kecil, seolah memahami. "Baguslah."
Mereka kembali berjalan tanpa suara menuju speedboat yang bergetar di tepi dermaga, menunggu untuk membawa mereka mengarungi danau hanya lima menit. Lima menit yang singkat namun terasa panjang, di mana seluruh kenangan masa lalu menyelip di antara suara mesin dan gelombang kecil yang menggoyang-goyangkan perahu. Mereka duduk diam, merasakan dingin yang menusuk sampai ke hati.
Selesai putaran, mereka kembali ke tepi danau, tapi dengan keheningan yang berbeda. Bakso yang sudah dingin, sate kelinci yang tinggal sisa tusuknya, rambak sapi yang hanya menyisakan serpihan, semua tak lagi sehangat tadi. Teman-teman mereka tertawa, melanjutkan obrolan ringan. Namun bagi Andre dan Laras, malam minggu itu terasa begitu sepi di tengah keramaian.
Andre menyadari, meski suasana ini "pepak"---lengkap dan seru bagi orang lain, hatinya tetap kosong. Kadang, ada yang hilang tak bisa ditemukan kembali, meski di tempat yang seharusnya penuh kenangan. Dan malam itu, di pinggir danau, Andre akhirnya paham: beberapa perasaan memang lebih baik ditinggalkan di masa lalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H