OLEH: Khoeri Abdul Muid
Malam minggu itu seakan sempurna. Langit mulai gelap, tapi suasana di pinggir danau justru makin ramai. Andre, Laras, dan teman-teman duduk mengelilingi meja panjang di kafe tepi danau. Gelak tawa mereka seolah menyatu dengan aroma bakso yang mengepul, sate kelinci yang baru dibakar, kriuk rambak sapi, alpukat segar, dan kacang rebus yang hangat di tangan. Topi-topi slawir yang mereka kenakan menambah gaya santai, membuat mereka tampak seperti sekumpulan anak muda yang lepas dari segala beban.
Tak jauh dari meja mereka, ada seekor kuda yang berderap pelan, membawa anak-anak kecil berkeliling, sementara sebuah speedboat di danau menderu sesekali, membawa penumpang yang hilir mudik untuk putaran singkat lima menit. Semua tampak hidup dan penuh tawa. Tapi di tengah kebahagiaan itu, dua orang diam dalam bayang-bayang masa lalu: Andre dan Laras.
Dulu, Andre dan Laras pernah menjadi pasangan yang tak terpisahkan. Mereka biasa datang ke tempat ini, menghabiskan waktu berbincang tentang mimpi-mimpi mereka. Tapi semua itu sudah berubah. Laras pergi tanpa banyak kata, meninggalkan Andre yang terus bertahan. Mereka bertemu lagi malam ini, namun sebagai dua orang asing. Tatapan mereka bertemu sesekali, namun segera berpaling---menyisakan perih yang tak terlihat.
"Hei, naik speedboat, yuk!" seru Beni, membuyarkan lamunan Andre.
"Ayo!" teriak yang lain serempak, membuat Andre terpaksa tersenyum tipis.
Mereka pun berjalan beriringan menuju dermaga kecil. Teman-teman lain bercanda sambil berdesakan di atas speedboat, tapi Andre dan Laras tertinggal di belakang, menyusuri jalan setapak yang licin dan remang-remang.
"Laras," panggil Andre akhirnya. Suaranya pelan, nyaris tertelan gemerisik angin malam.
Laras menghentikan langkahnya, menoleh. "Ya?"
Andre menghela napas panjang. Seharusnya banyak yang ingin dia katakan---tentang malam-malam yang hilang, tentang perasaan yang masih tertinggal. Tapi ia tahu, malam ini bukan untuk jawaban, dan mungkin, tak pernah ada jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan mereka.