OLEH: Khoeri Abdul Muid
Prof. Abdul Mu'ti, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, dalam berbagai kesempatan menegaskan bahwa konsep deep learning bukanlah sebuah kurikulum, melainkan sebuah pendekatan pembelajaran. Pernyataan ini, meskipun mencerminkan niat untuk memisahkan deep learning dari perubahan formal kurikulum, menimbulkan beberapa pertanyaan penting.Â
Hal ini terutama terlihat ketika kita menyadari bahwa penerapan deep learning sesungguhnya memerlukan perubahan signifikan dalam struktur dan konten kurikulum itu sendiri. Oleh karena itu, penting untuk menggali lebih dalam mengapa deep learning sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari perubahan kurikulum.
Deep Learning dan Kurikulum: Tidak Bisa Dipisahkan
Penting untuk memahami bahwa kurikulum bukan hanya sekedar materi pembelajaran yang harus dikuasai siswa. Dalam banyak teori pendidikan, kurikulum mencakup tiga aspek utama: struktur materi, pendekatan pengajaran, dan evaluasi. Ketika Prof. Mu'ti menyebutkan bahwa deep learning bukanlah kurikulum, pernyataan ini bisa dianggap sebagai upaya untuk memisahkan pendekatan pembelajaran dari struktur materi pembelajaran yang sudah ada.Â
Namun, kenyataannya, untuk menerapkan deep learning, perubahan dalam kurikulum sangat diperlukan, terutama dalam hal pemilihan dan pengurangan materi yang terlalu padat.
Sebagaimana dijelaskan dalam berbagai literatur pendidikan, pendekatan pembelajaran mendalam atau deep learning bertujuan untuk membangun pemahaman yang lebih kompleks dan menyeluruh tentang topik yang dipelajari. Hal ini memerlukan ruang yang lebih besar untuk penyederhanaan materi, agar siswa bisa fokus pada penguasaan konsep-konsep inti, bukan sekadar mengingat informasi yang banyak namun dangkal.Â
Dengan kata lain, deep learning berkaitan erat dengan penyusunan kurikulum yang menyaring dan memilih materi yang relevan serta mengurangi yang tidak esensial, sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna dan mendalam.
Deep Learning Menuntut Perubahan pada Kurikulum
Deep learning bukan hanya tentang metode mengajar yang lebih mendalam, tetapi juga tentang konten yang lebih terfokus. Konsep ini memerlukan kurikulum yang lebih ramping dan terfokus pada pengembangan pemahaman mendalam, daripada sekadar mengejar penguasaan materi yang banyak dan luas.Â
Dengan demikian, kurikulum harus dirancang untuk mendukung pembelajaran yang lebih mendalam. Jika materi pelajaran terlalu banyak dan tidak fokus, siswa akan kesulitan untuk menyerap materi secara menyeluruh.
Penelitian oleh Biggs (2003) tentang constructive alignment menunjukkan bahwa keterkaitan antara tujuan pembelajaran, metode pengajaran, dan evaluasi sangat penting. Tanpa penyusunan materi yang terfokus, tujuan pembelajaran mendalam tidak akan tercapai.Â
Oleh karena itu, kurikulum yang berisi materi yang dirampingkan dan disusun dengan baik adalah langkah pertama yang perlu dilakukan agar deep learning dapat terwujud.
Selain itu, dalam teori pembelajaran konstruktivistik yang dipopulerkan oleh Piaget dan Vygotsky, pembelajaran yang mendalam terjadi ketika siswa memiliki kesempatan untuk menghubungkan pengetahuan baru dengan pengalaman dan pengetahuan sebelumnya.Â
Hal ini membutuhkan kurikulum yang mendukung penelusuran ide dan pemahaman yang lebih dalam, bukan hanya penyajian fakta-fakta yang terpisah.
Bukan Hanya Metode, Tetapi Juga Konten
Sebagai contoh, penyederhanaan materi pelajaran---seperti yang disarankan oleh Prof. Mu'ti---bukan hanya masalah mengubah cara mengajar, tetapi juga bagaimana materi itu diorganisir dalam kurikulum.Â
Materi yang terlalu banyak dan kompleks akan menghambat siswa dalam mendalami topik dengan baik, sementara materi yang lebih sedikit namun terfokus pada konsep-konsep inti akan memungkinkan siswa untuk benar-benar memahami dan menerapkan apa yang dipelajari.
Penerapan teori deep learning membutuhkan struktur kurikulum yang berorientasi pada pembelajaran berbasis masalah dan penerapan pengetahuan dalam kehidupan nyata. Dalam hal ini, menurut Schunk (2012), pembelajaran yang mendalam dapat tercapai apabila siswa diberi tantangan yang relevan dengan dunia mereka dan didorong untuk berpikir kritis dan kreatif.Â
Oleh karena itu, kurikulum berbasis deep learning tidak hanya menyangkut metode pembelajaran, tetapi juga bagaimana materi itu dipilih, dirancang, dan disusun untuk memungkinkan pembelajaran yang lebih mendalam.
Kesimpulan
Meskipun Prof. Mu'ti menegaskan bahwa deep learning bukanlah sebuah kurikulum, kenyataannya penerapan deep learning memang membutuhkan perubahan dalam kurikulum. Tidak dapat dipisahkan antara pendekatan pembelajaran yang mendalam dengan struktur materi yang harus disederhanakan agar siswa dapat fokus pada pemahaman yang lebih dalam.Â
Penyederhanaan materi yang disarankan oleh Prof. Mu'ti bukan hanya sebuah perubahan dalam cara mengajar, tetapi juga perubahan dalam bagaimana kurikulum disusun agar dapat mendukung tercapainya pembelajaran yang mendalam.
Dengan demikian, meskipun deep learning lebih mengarah pada pendekatan dan metode pembelajaran, implementasinya tidak dapat dipisahkan dari perubahan dalam kurikulum, terutama dalam hal pengurangan dan penyederhanaan materi yang terlalu padat. Penataan ulang kurikulum yang lebih terfokus pada pengembangan pemahaman mendalam akan memberikan ruang bagi siswa untuk lebih mendalami materi dan mengaplikasikan pengetahuan yang mereka pelajari.Â
Sebagaimana dicontohkan oleh teori-teori pendidikan serta praktik terbaik di dunia, kurikulum dan pembelajaran yang mendalam saling terkait erat, dan satu tidak bisa berjalan dengan optimal tanpa yang lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H