OLEH: Khoeri Abdul Muid
Di suatu sore yang tenang, Ainurrafiq duduk termenung di teras rumahnya, ditemani secangkir teh hangat dan buku tua yang sudah lama ia cari. Buku itu berisi kisah-kisah ajaran kuno dari berbagai penjuru dunia. Ainurrafiq selalu haus akan pengetahuan, dan kali ini ia terhanyut dalam kisah tentang dua tokoh besar: sang Buddha, atau Shi Dhatta Gotama, dan seorang nabi dari Persia bernama Zarathustra.
Shi Dhatta Gotama, atau yang sering dikenal sebagai Shakya Muni, berasal dari suku Shakya yang berkuasa di negeri Kapila. Sebagai pangeran, dia seharusnya hidup dalam kemewahan, tapi ia justru meninggalkan segalanya demi menemukan pencerahan di hutan Kuru Wela, jauh di timur laut India. Ainurrafiq tertegun membaca kisah ini, membayangkan seorang pangeran yang memilih hidup penuh pengorbanan demi kebijaksanaan.
Sementara itu, di bagian lain dari buku itu, tertulis kisah Zarathustra, nabi Persia yang hidup di sudut barat laut Iran. Ajarannya menginspirasi kitab Zend Avesta dan Dhasatir, yang dalam perjalanan waktu dikenal oleh bangsa Arab sebagai ajaran "Majusi." Ainurrafiq membaca dengan seksama, kagum pada bagaimana Zarathustra juga menyerukan ajaran kebaikan dan keadilan.
Namun, sore itu tak hanya Ainurrafiq dan bukunya yang tenggelam dalam renungan. Di tengah lamunannya, sahabatnya, Fikri, tiba-tiba muncul dan menyapa. Fikri adalah sosok yang kritis, selalu mempertanyakan segala sesuatu, dan seringkali berbeda pendapat dengan Ainurrafiq.
"Hei, Rafiq! Sedang apa kamu di sini, terbenam di dalam buku seperti biasa?" tanya Fikri sambil tersenyum.
Ainurrafiq mengangkat wajahnya, lalu tersenyum. "Aku sedang membaca tentang Buddha dan Zarathustra," jawabnya, menggeser kursi sebagai undangan bagi Fikri untuk duduk. "Dua tokoh besar dari timur dan barat yang mengajarkan kebijaksanaan."
Fikri duduk, menatap halaman buku yang terbuka. "Kebijaksanaan?" tanyanya, alis terangkat. "Kau yakin keduanya itu bisa disebut bijaksana? Bukankah ajaran-ajaran kuno sering kali hanya fantasi masa lalu yang tak lagi relevan?"
Ainurrafiq tertawa kecil. Ia tahu Fikri gemar menantangnya. "Tidak selalu begitu, Fikri. Lihat Buddha, misalnya. Dia meninggalkan kemewahan hidup sebagai pangeran, memilih hidup sederhana untuk menemukan kebahagiaan sejati. Bukankah itu bukti ketulusan?"
"Tapi itu mungkin hanya mitos, bukan?" Fikri membalas, sambil menggeleng. "Banyak kisah tentang para tokoh yang disebut suci dan bijaksana, namun seiring waktu, ajaran mereka dibentuk dan diubah oleh pengikutnya. Apa kau benar-benar yakin bahwa apa yang kita baca ini adalah kebenaran?"
Ainurrafiq terdiam sejenak, memandang ke arah langit yang mulai gelap. "Aku tidak tahu pasti, Fikri. Tapi mungkin yang perlu kita lihat bukanlah seberapa mutlak kebenaran dari kisah itu, melainkan nilai yang bisa kita ambil dari ajaran mereka."
Fikri tersenyum tipis, sedikit skeptis. "Lalu bagaimana dengan Zarathustra? Bangsa Arab menyebut pengikutnya 'majusi,' seakan-akan itu sebutan negatif. Apa benar ajarannya itu baik?"
"Kata 'majusi' itu sebenarnya salah kaprah," Ainurrafiq menjelaskan. "Itu nama suku, bukan nama agama. Dari ajaran Zarathustra, muncul kitab Zend Avesta, yang mengajarkan kebaikan dan keadilan. Apa salahnya kalau kita mengenali itu, sama seperti kita mengenal nilai dari ajaran-ajaran lain?"
Fikri mendengus. "Kau tahu, Rafiq, masalahnya bukan pada baik atau buruknya ajaran itu sendiri, tapi pada bagaimana ajaran itu diterjemahkan oleh pengikutnya. Sejarah sudah membuktikan, banyak ajaran besar yang justru menciptakan konflik karena disalahartikan."
Ainurrafiq tersenyum bijak. "Mungkin benar apa yang kau katakan, Fikri. Tetapi kalau kita hanya melihat sejarah sebagai catatan kegagalan, kita akan kehilangan kebijaksanaan yang mereka tinggalkan. Lihat saja eskatologi Zarathustra---ajaran tentang akhir zaman. Mirip dengan konsep akhir zaman dalam Islam, bukan? Bukankah ini menunjukkan kesamaan nilai di antara perbedaan?"
Fikri terdiam sesaat. Ia menatap jauh, seakan memikirkan sesuatu yang dalam. "Mungkin kau benar," katanya, suaranya lebih pelan. "Tetapi aku tetap khawatir, Rafiq. Kadang, orang terlalu mudah terpaku pada perbedaan yang sepele dan melupakan esensi ajaran itu sendiri."
Ainurrafiq mengangguk setuju. "Itulah tugas kita sekarang, Fikri. Bukan hanya mempelajari, tetapi memahami inti dari apa yang mereka ajarkan. Bukankah itu justru cara kita menghormati mereka?"
Keduanya terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hujan tipis mulai turun, dan malam semakin larut. Ainurrafiq tersenyum puas, merasa bahwa percakapan itu telah membuka perspektif baru bagi dirinya, dan mungkin juga bagi Fikri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H