Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lelaki Ainurrofiq 2

3 November 2024   06:48 Diperbarui: 3 November 2024   07:05 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ainurrafiq terdiam sejenak, memandang ke arah langit yang mulai gelap. "Aku tidak tahu pasti, Fikri. Tapi mungkin yang perlu kita lihat bukanlah seberapa mutlak kebenaran dari kisah itu, melainkan nilai yang bisa kita ambil dari ajaran mereka."

Fikri tersenyum tipis, sedikit skeptis. "Lalu bagaimana dengan Zarathustra? Bangsa Arab menyebut pengikutnya 'majusi,' seakan-akan itu sebutan negatif. Apa benar ajarannya itu baik?"

"Kata 'majusi' itu sebenarnya salah kaprah," Ainurrafiq menjelaskan. "Itu nama suku, bukan nama agama. Dari ajaran Zarathustra, muncul kitab Zend Avesta, yang mengajarkan kebaikan dan keadilan. Apa salahnya kalau kita mengenali itu, sama seperti kita mengenal nilai dari ajaran-ajaran lain?"

Fikri mendengus. "Kau tahu, Rafiq, masalahnya bukan pada baik atau buruknya ajaran itu sendiri, tapi pada bagaimana ajaran itu diterjemahkan oleh pengikutnya. Sejarah sudah membuktikan, banyak ajaran besar yang justru menciptakan konflik karena disalahartikan."

Ainurrafiq tersenyum bijak. "Mungkin benar apa yang kau katakan, Fikri. Tetapi kalau kita hanya melihat sejarah sebagai catatan kegagalan, kita akan kehilangan kebijaksanaan yang mereka tinggalkan. Lihat saja eskatologi Zarathustra---ajaran tentang akhir zaman. Mirip dengan konsep akhir zaman dalam Islam, bukan? Bukankah ini menunjukkan kesamaan nilai di antara perbedaan?"

Fikri terdiam sesaat. Ia menatap jauh, seakan memikirkan sesuatu yang dalam. "Mungkin kau benar," katanya, suaranya lebih pelan. "Tetapi aku tetap khawatir, Rafiq. Kadang, orang terlalu mudah terpaku pada perbedaan yang sepele dan melupakan esensi ajaran itu sendiri."

Ainurrafiq mengangguk setuju. "Itulah tugas kita sekarang, Fikri. Bukan hanya mempelajari, tetapi memahami inti dari apa yang mereka ajarkan. Bukankah itu justru cara kita menghormati mereka?"

Keduanya terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hujan tipis mulai turun, dan malam semakin larut. Ainurrafiq tersenyum puas, merasa bahwa percakapan itu telah membuka perspektif baru bagi dirinya, dan mungkin juga bagi Fikri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun