OLEH: Khoeri Abdul Muid
Aku selalu percaya bahwa prestasi siswa adalah hasil dari kerja sama yang kompleks, melibatkan tiga pilar utama: anak itu sendiri, guru yang membimbingnya, dan kompetitor yang mendorongnya untuk maju. Namun, keyakinanku sering berbenturan dengan pandangan Pak Manan, seorang guru senior yang tegas dengan pendapatnya bahwa prestasi siswa sepenuhnya bergantung pada anak itu sendiri.
"Kalau memang anaknya pintar, ya berprestasi. Tidak perlu embel-embel guru atau kompetitor," katanya sambil menyeruput kopi, menatapku dengan tatapan tajam yang penuh keyakinan. "Kalau siswa tidak berprestasi, itu salah mereka. Tidak ada alasan lain."
Senyumku menghilang sejenak. Bagi Pak Manan, pengalamannya selama bertahun-tahun di dunia pendidikan menjadi alasan untuk tidak mau mempertimbangkan pandangan lain. Dia merasa senioritas dan pengalamannya adalah bekal yang cukup untuk menilai setiap aspek dunia pendidikan. Sayangnya, meski telah lama mengajar, dia belum pernah berhasil mengantarkan siswanya meraih prestasi yang membanggakan.
Sementara itu, aku---yang mungkin belum punya masa kerja sebanyak Pak Manan---telah berhasil membimbing siswa hingga ke tingkat provinsi dan nasional. Bagi ku, tanpa kemauan untuk belajar dan mengadaptasi, kita hanya akan terjebak dalam rutinitas. Dalam pandanganku, menjadi guru bukan hanya tentang mengajarkan, tetapi juga terus belajar dan berinovasi.
Aku memilih untuk membuktikan keyakinanku melalui karya, bukan perdebatan. "Pembelaan terbaik bukanlah ngotot tetapi pembuktian," itulah prinsipku.
Tahun ajaran baru datang, dan aku ditugasi menjadi pembimbing tim olimpiade sains. Ini adalah kesempatan untuk menggali potensi siswa, mencoba metode baru yang mungkin belum pernah aku terapkan sebelumnya. Aku juga tak ragu untuk bertukar pikiran dengan rekan-rekan di sekolah lain, mencari tahu strategi dan pendekatan yang mereka gunakan. Bagiku, belajar bisa datang dari siapa saja.
Beberapa bulan kemudian, hasil dari bimbingan itu mulai terlihat. Siswa-siswa yang aku bimbing berhasil lolos ke babak final olimpiade sains tingkat provinsi. Kabar ini cepat menyebar di ruang guru, dan beberapa rekan memberi ucapan selamat. Namun, di tengah-tengah kegembiraan itu, aku mendengar suara Pak Manan yang sinis.
"Ah, prestasi itu tidak usah dibesar-besarkan. Kalau anak memang pintar, ya pasti berhasil. Semua itu hanya omong kosong dari guru yang tidak berprestasi," ucapnya, seakan meremehkan upayaku.
Kali ini, aku tak bisa tinggal diam. Perlahan, aku mendekatinya dan berkata, "Pak Manan, saya percaya setiap anak memiliki potensi yang perlu digali. Tugas kita sebagai guru adalah mendukung dan memfasilitasi mereka. Tanpa dukungan dan bimbingan, potensi itu bisa saja tidak berkembang."