OLEH: Khoeri Abdul Muid
Apakah ada ruang bagi kita untuk benar-benar memahami jiwa yang lain?Â
Menjelang senja, aku melangkah memasuki aula Art House Abadi yang mulai ramai. Setiap derit di lantai kayu seperti melodi pelan, menuntunku menuju panggung yang dipenuhi karya para mahasiswa.Â
Tema kali ini cukup berani: kesehatan mental dan relasi keluarga.Â
Namun, seiring langkahku, aku mulai bertanya---apakah ini sekadar pameran estetika atau cermin untuk menghadapi diri kita sendiri?
Di hadapanku, sebuah instalasi besar berdiri teguh: bayangan seorang remaja yang tampak terkungkung dalam penjara kaca, dikelilingi kata-kata seperti "beban," "malu," "ekspektasi," "gagal."Â
Sosok itu tampak berusaha keluar, namun dinding-dinding tak tertembus.Â
Di sekitarnya, kerumunan orang tua dan mahasiswa berdiri, sebagian terdiam, sebagian berbisik. Kulihat wajah mereka yang bertentangan---antara keterpanaan dan perlawanan. Benarkah semua ini hanya keluhan generasi "strawberry," ataukah ini gema dari jiwa yang teralienasi, terperangkap dalam harapan yang tak pernah mereka minta?
Beberapa orang tua terlihat gelisah. Ada yang berbisik, "Anak-anak ini seharusnya bersyukur, bukan terus mengeluh."Â
Sejenak, aku merasa ada tembok besar tak terlihat yang membentang di antara generasi ini. Apakah kita benar-benar pernah memahami bahwa jiwa manusia itu adalah semesta yang berdiri sendiri, unik dalam keabadian pergulatannya?