OLEH: Khoeri Abdul Muid
"Apa aku bisa bertahan, Pak?" tanya Bu Sari pelan pada Pak Dani, kepala sekolahnya. Sudah sebulan Bu Sari terlibat dalam masalah yang menguras tenaga dan pikirannya. Salah satu orang tua murid menuntutnya, merasa anaknya diperlakukan kasar di kelas karena teguran Bu Sari yang dianggap "berlebihan." Di ruang guru yang sepi, Bu Sari merasa perasaannya yang tumpah begitu berat.
Pak Dani mengangguk tegas, dengan nada yang menenangkan. "Kita tidak sendirian, Bu Sari. Kita punya asosiasi guru, mereka bisa bantu pendampingan hukum. Saya akan menghubungi mereka agar Bu Sari dapat bantuan hukum untuk menghadapi situasi ini."
Bu Sari menatap Pak Dani penuh rasa lega, tetapi ada juga keraguan yang mengintip dari sorot matanya. "Tapi, Pak... saya takut ini mempengaruhi karier saya. Orang tua murid kadang sulit diajak bicara. Masalah bisa besar kalau ada yang tidak paham bagaimana guru mendidik," katanya sambil menghela napas panjang.
Pak Dani lalu menceritakan ide baru yang tengah dijalankan oleh dinas pendidikan, sebuah program pelatihan etika dan hukum pendidikan bagi guru. "Guru-guru, termasuk kita, akan mendapat pelatihan tentang batasan hukum, prosedur yang benar dalam mendisiplinkan murid, serta pelatihan komunikasi efektif dengan orang tua," jelas Pak Dani.
"Bahkan, kita juga akan memulai sosialisasi pada para orang tua, Bu. Ini penting agar mereka paham batas-batas tugas guru. Nantinya kita akan ajak mereka dalam diskusi bagaimana mendidik dan mendisiplinkan anak-anak dengan benar."
Bu Sari tersenyum. "Pak, mungkin program ini bisa mengurangi kesalahpahaman. Jika kita bisa bekerja sama dengan orang tua, bisa lebih nyaman bekerja tanpa takut disalahpahami."
Pak Dani melanjutkan, "Lagi pula, akan ada peraturan baru di sekolah yang lebih transparan. Nanti, setiap kali ada keluhan dari pihak murid atau orang tua, kita akan menangani secara tim lewat komite yang melibatkan orang tua, guru, dan siswa."
Selang beberapa minggu kemudian, suasana sekolah perlahan berubah. Program kolaborasi dan mediasi mulai berjalan. Ada pertemuan rutin antara guru dan orang tua untuk membahas perkembangan siswa dan penanganan kasus disiplin. Bu Sari merasa beban di hatinya perlahan berkurang. Beberapa guru pun tampak lebih percaya diri dalam menghadapi situasi sulit karena tahu ada dukungan dari pihak sekolah dan asosiasi guru.
Namun, konflik tak benar-benar hilang. Suatu hari, Bu Sari kembali dihadapkan pada keluhan dari orang tua siswa yang merasa anaknya diberi terlalu banyak tugas. Kali ini, alih-alih merasa cemas, Bu Sari dengan tenang mengikuti prosedur yang telah disepakati sekolah. Komite sekolah ikut terlibat, dan pertemuan diadakan dengan mediasi netral dari pihak dinas pendidikan.
Di pertemuan itu, Bu Sari menyampaikan pandangannya dengan lembut tapi tegas. Ia menjelaskan bahwa tugas-tugas tersebut diberikan sesuai kurikulum dan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berpikir siswa. Orang tua yang awalnya bersikeras, perlahan mulai paham dan menghargai pendekatan Bu Sari.
Ketika pertemuan selesai, Pak Dani menghampiri Bu Sari dan berkata dengan bangga, "Inilah manfaatnya jika kita bekerja sama dengan baik. Dengan mediasi yang netral, semua bisa diselesaikan dengan damai."
Bu Sari tersenyum lega. Dalam hati, ia tahu perjuangannya belum selesai. Ada jalan panjang di depan, tapi ia kini memiliki harapan baru. Perlahan, ia sadar, semua langkah yang dilakukan bersama komunitas sekolah membuatnya merasa lebih kuat dalam mengemban tugasnya.
Namun, di ujung lorong sekolah yang senyap, Bu Sari berhenti sejenak. Dalam hatinya, ia bertanya---akankah dukungan ini bertahan saat badai masalah baru datang?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H