OLEH: Khoeri Abdul Muid
Dalam sebuah pernyataan yang mencuri perhatian, Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, menyatakan keterbukaannya terhadap kemungkinan kembalinya pelaksanaan Ujian Nasional (UN). Saat ditemui di Komisi X DPR RI, Jakarta, pada Selasa (29/10/2024), Hetifah menekankan bahwa setiap perubahan dalam dunia pendidikan haruslah dilihat dari berbagai sudut pandang, terutama demi kepentingan siswa.
Memahami Konteks Kembalinya Ujian Nasional
"Jika Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu'ti, berencana mengembalikan UN, kami siap mendiskusikannya," ujar Hetifah. Namun, ia mengingatkan agar tujuan dari UN tersebut jelas, baik sebagai penentu kelulusan maupun sebagai alat untuk mendapatkan data komparatif mengenai kondisi pendidikan di berbagai daerah.
Dalam konteks ini, pentingnya data pendidikan nasional tak bisa dipandang sebelah mata. Berdasarkan data UNESCO, Indonesia masih menghadapi tantangan dalam kualitas pendidikan, dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang menunjukkan bahwa hanya 58% dari anak-anak usia 15 tahun yang mencapai standar literasi yang memadai. Hal ini menunjukkan perlunya mekanisme evaluasi yang efektif untuk memahami kondisi pendidikan di berbagai daerah.
Dampak Psikologis dan Praktis UN
Namun, Hetifah juga menyoroti dampak emosional yang dialami siswa. "Kami tidak ingin UN menjadi momok yang menakut-nakuti anak-anak. Kita semua ingat, bagaimana stres dan kecurangan yang sering terjadi dalam pelaksanaan UN sebelumnya," tambahnya. Data dari penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Negeri Jakarta menunjukkan bahwa 70% siswa mengalami stres yang signifikan selama pelaksanaan UN, yang berdampak negatif pada kesehatan mental mereka.
Penghapusan UN pada masa kepemimpinan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim, menunjukkan adanya keinginan untuk mencari alternatif yang lebih konstruktif dan berfokus pada pembelajaran. Sekarang, Abdul Mu'ti mengisyaratkan kehati-hatian dalam mempertimbangkan setiap kebijakan, termasuk potensi kembalinya UN. "Kami akan melihat semuanya dengan seksama," ungkap Mu'ti dalam pernyataannya di Jakarta Selatan, beberapa hari lalu.
Kurikulum Merdeka dan Tantangan Kebijakan
Dengan masih hangatnya diskusi mengenai pelaksanaan Kurikulum Merdeka yang baru diterapkan, pertanyaan mengenai UN menjadi semakin kompleks. Apakah kita siap untuk mengembalikan sistem yang telah dianggap bermasalah? Teori pendidikan kontemporer, seperti konstruktivisme, menekankan pentingnya pembelajaran yang berorientasi pada siswa, di mana penilaian harus mencerminkan proses belajar yang holistik dan bukan sekadar hasil ujian.
Masyarakat kini menantikan langkah pemerintah selanjutnya. Apakah kembali ke UN akan menjadi solusi atau justru menciptakan tantangan baru? Yang pasti, perjalanan menuju sistem pendidikan yang lebih baik memerlukan kolaborasi antara pemerintah, pendidik, dan masyarakat. Hanya dengan pendekatan yang inklusif dan berorientasi pada kesejahteraan siswa, kita dapat memastikan bahwa kebijakan pendidikan yang diambil benar-benar mencerminkan aspirasi masyarakat dan kebutuhan zaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H