OLEH: Khoeri Abdul Muid
Pendahuluan
Dalam beberapa tahun terakhir, konsep Merdeka Belajar telah menjadi landasan reformasi pendidikan di Indonesia, dirancang untuk mendorong kemandirian belajar dan kreativitas siswa.
Namun, konsep ini mendapat kritik dari beberapa tokoh pendidikan, termasuk Prof. Abdul Mu'ti, --- (sekarang, Mendikdasmen), yang menyoroti perbedaan antara filosofi Merdeka Belajar yang diusung pemerintah pada saat itu, dengan nilai-nilai pendidikan yang diamanatkan oleh Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional Indonesia (detikEdu, Jumat, 25 Okt 2024 18:00 WIB).
Mu'ti mempertanyakan apakah konsep ini benar-benar sesuai dengan prinsip pendidikan yang ditanamkan oleh Dewantara atau malah melenceng dari makna "merdeka" dalam filsafat pendidikan aslinya.
Mengapa Filosofi Pendidikan Ki Hajar Dewantara Penting?
Ki Hajar Dewantara memandang pendidikan sebagai sarana membebaskan jiwa, bukan sekadar membekali keterampilan atau pengetahuan akademis.
Dalam pandangan Dewantara, pendidikan harus membantu anak menemukan jati diri, merdeka dalam berpikir, dan memiliki kesadaran akan tanggung jawab sosial.
"Merdeka" dalam konteks ini bukan hanya tentang kemandirian belajar, tetapi juga tentang kebebasan berkepribadian dan berkebudayaan dalam konteks masyarakat yang harmonis.
Pendekatan ini sejalan dengan teori pendidikan humanistik yang diusung oleh Carl Rogers dan Abraham Maslow, yang menempatkan individu sebagai pusat dari proses pembelajaran dan melihat pendidikan sebagai sarana untuk mencapai aktualisasi diri.
Rogers mengajukan konsep student-centered learning, di mana siswa menjadi pusat proses belajar, dengan guru sebagai fasilitator yang membantu siswa menemukan identitasnya.
Sementara konsep ini memiliki kemiripan dengan Merdeka Belajar, hanya saja Rogers tetap menekankan pentingnya pembentukan nilai dan karakter siswa, suatu aspek yang dianggap kurang optimal dalam implementasi teknis Merdeka Belajar saat ini.
Kritik Abdul Mu'ti terhadap Makna "Merdeka" dalam Merdeka Belajar
Abdul Mu'ti melihat adanya pergeseran makna "merdeka" dalam implementasi Merdeka Belajar saat ini.
Menurutnya, Merdeka Belajar cenderung menekankan kebebasan siswa dalam proses belajar secara teknis, seperti memilih materi atau metode, tanpa menekankan pendampingan mendalam yang sesuai dengan kebutuhan jiwa dan karakter siswa, sebagaimana yang ditekankan Dewantara.
Mu'ti menggarisbawahi bahwa dalam Merdeka Belajar, terlalu banyak penekanan pada aspek kemandirian teknis dan evaluasi standar, tetapi kurang menyentuh aspek pembinaan karakter dan keselarasan sosial-budaya yang sebenarnya diinginkan oleh Dewantara.
Survei dari Pusat Penelitian Kebijakan (Puslitjak) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menunjukkan bahwa meski 70% guru mendukung fleksibilitas dalam mengajar, banyak yang merasa kebijakan Merdeka Belajar terlalu terfokus pada aspek teknis dan kurang menekankan pada bimbingan moral serta karakter.
Ini menggarisbawahi kritik Mu'ti bahwa filosofi asli Dewantara lebih menekankan "pembebasan jiwa" ketimbang kemandirian teknis semata.
Perbedaan Makna "Merdeka" menurut Dewantara dan Merdeka Belajar
Makna Kebebasan
- Ki Hajar Dewantara: Dalam konteks Dewantara, kebebasan berarti perkembangan anak sesuai jati diri dan karakter, dengan bimbingan seorang pamong yang memahami perkembangan psikologis siswa. Guru berperan sebagai "orang tua" dalam lingkungan belajar, mengarahkan tanpa mengatur secara berlebihan, sehingga siswa tumbuh alami dan utuh.
- Merdeka Belajar: Di sisi lain, Merdeka Belajar menekankan fleksibilitas metode pembelajaran dan pengembangan kurikulum. Siswa dan guru diberikan keleluasaan dalam menentukan cara belajar, tetapi kritiknya adalah bahwa kebebasan ini terlalu teknis dan kadang mengabaikan kebutuhan emosional serta konteks budaya siswa.
Peran Guru
- Ki Hajar Dewantara: Dewantara memandang guru sebagai "pamong" yang tidak hanya mengayomi tetapi juga menjadi teladan moral. Dalam filsafat Dewantara, guru bukan sekadar fasilitator, tetapi sosok yang membimbing anak menemukan arah hidupnya.
- Merdeka Belajar: Dalam konsep Merdeka Belajar, guru lebih berperan sebagai fasilitator daripada pembimbing moral atau pamong.
Abdul Mu'ti mengkritik bahwa peran guru telah terlalu "dilepaskan" dari kewajiban membentuk karakter dan jiwa siswa, berfokus pada pencapaian kompetensi akademis.
Menurut Lev Vygotsky, teori Zone of Proximal Development (ZPD) menekankan pentingnya bimbingan dalam tahap awal proses pembelajaran untuk mencapai kemandirian sejati.
Kritik Mu'ti terhadap Merdeka Belajar mencerminkan pandangan Vygotsky bahwa anak-anak memerlukan bantuan dari orang dewasa atau teman sebaya, yang seharusnya berperan sebagai pembimbing moral, bukan hanya fasilitator teknis.
Apakah Merdeka Belajar Melenceng dari Nilai Asli Dewantara?
Menurut Abdul Mu'ti, Merdeka Belajar berpotensi mengembangkan kemandirian siswa, tetapi pendekatan saat ini lebih menitikberatkan pada kebebasan teknis yang terbatas dan mengabaikan aspek kebebasan jiwa serta kebudayaan yang dicita-citakan Dewantara.
Dalam penelitian UNESCO di Asia Tenggara tahun 2021, model pendidikan yang berfokus pada pembentukan karakter menunjukkan hasil yang lebih positif dalam pengembangan moral siswa, tetapi di Indonesia, model pendidikan seperti ini belum sepenuhnya terintegrasi dalam Merdeka Belajar yang cenderung lebih mementingkan aspek teknis.
Mu'ti menekankan bahwa Merdeka Belajar perlu mempertimbangkan nilai asli dari "merdeka" sebagai pembebasan jiwa, bukan sekadar pembebasan teknis.
Selain itu, ia menyarankan pentingnya pembinaan karakter, sehingga pendidikan bukan sekadar alat pencapaian akademis, tetapi juga sebagai ruang untuk menumbuhkan budi pekerti.
Kesimpulan
Merdeka Belajar, dalam bentuknya saat ini, masih memerlukan perombakan total agar sejalan dengan visi Ki Hajar Dewantara. Seperti yang ditegaskan oleh Abdul Mu'ti, pendidikan seharusnya lebih dari sekadar penyampaian materi dan pencapaian kompetensi; pendidikan harus menjadi perjalanan membangun karakter dan kesadaran sosial.
Implementasi Merdeka Belajar yang "benar-benar benar" diharapkan bisa lebih merangkul nilai-nilai pendidikan yang autentik sesuai pandangan Dewantara: membebaskan jiwa, membangun karakter, dan menumbuhkan kesadaran sosial budaya yang kuat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H