Dalam beberapa hari ke depan, Dinda mencoba mengubah kebiasaannya. Setiap pagi, ia memaksa diri untuk sarapan sebelum menyeruput kopinya. Tapi di tengah upayanya, konflik batin lain muncul. Kini, setiap kali menyeruput kopi, ia merasakan ketegangan antara rasa nikmat dan ancaman nyeri yang mungkin kembali menyerangnya. Ia merasa hidupnya telah berubah dari sekadar menikmati kopi menjadi serangkaian kompromi yang tidak pernah berakhir.
Ketika nyeri lambungnya suatu pagi benar-benar hilang, Dinda merasakan kemenangan kecil, tapi di sisi lain, ia merasa kehilangan sensasi adrenalin yang biasanya ia dapatkan. Kopinya yang kini tanpa rasa sakit justru terasa hambar. Dia menyadari, bukan hanya kopi yang dia cintai, melainkan sensasi ketegangan antara kenikmatan dan resiko yang selama ini diam-diam ia nikmati.
Dalam prosesnya, Dinda mulai memahami bahwa hidup tidak melulu tentang mengejar rasa nikmat atau menaklukkan kelemahan, tetapi juga tentang mengenal dan menerima batasan diri. Di balik cangkir kopi yang tampak sederhana, Dinda belajar untuk berdamai dengan dirinya, menghadapi ketakutan dan gengsinya, serta menerima bahwa sesekali, menyerah bukanlah bentuk kekalahan, melainkan tanda kebijaksanaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H