OLEH: Khoeri Abdul Muid
Pagi itu, Dinda kembali terjebak dalam pergulatan batin yang sama: menatap cangkir kopi favoritnya di atas meja dapur. Ia teringat bagaimana kopi memberinya dorongan semangat setiap pagi---ritual kecil yang memberinya kekuatan menghadapi dunia. Tapi, seiring waktu, tubuhnya mulai memberikan perlawanan. Sejak beberapa bulan terakhir, perutnya sering melilit dan rasa nyeri di dadanya kadang terasa seperti terbakar, terutama setelah meminum kopi saat perut kosong.
Dokternya sudah memperingatkan, "Dinda, kamu perlu mengurangi asupan kopi atau setidaknya, makanlah terlebih dahulu. Kamu punya gejala asam lambung yang cukup serius."
Namun, nasihat itu terasa lebih seperti vonis. Mengurangi kopi, atau bahkan menghilangkannya, seperti memutus hubungan dengan sahabat dekat. Teman-teman kantor, terutama Andi, selalu meledek, "Masa sih Dinda yang pecinta kopi bakal menyerah karena asam lambung?" Kalimat itu terus terngiang di kepalanya, membuatnya merasa lemah dan kalah. Ia merasa dunia seakan mengejeknya untuk bertahan atau menyerah.
Suatu hari, Dinda terjebak di sebuah rapat yang berlangsung lebih lama dari biasanya. Ia berusaha tetap fokus, meski rasa perih di perutnya kian terasa. Rasa sakit itu memuncak saat seorang klien penting datang, dan Dinda tidak ingin terlihat lemah atau tidak profesional. Ia berusaha menahan diri, tetapi nyeri itu kian tak tertahankan. Saat istirahat, Andi, yang menyadari keanehan Dinda, bertanya dengan nada cemas, "Kamu nggak apa-apa?"
Dinda menutup matanya, menahan perih yang semakin membakar. "Aku... cuma butuh kopi."
Andi menghela napas. "Sudah kubilang, kamu perlu makan dulu. Kamu ngotot minum kopi saat perut kosong. Apa kamu begitu sulit mengalah dengan perutmu?"
"Kalau aku nggak minum kopi, aku merasa nggak siap menghadapi hari!" jawab Dinda dengan suara serak, nyaris menangis.
Andi menatapnya dengan tatapan iba dan frustasi. "Kamu berjuang menghadapi banyak hal, Din. Kamu berani mengambil proyek-proyek sulit, kamu menghadapi klien-klien besar. Tapi, masa kamu kalah sama kebiasaan minum kopi? Kamu tahu apa yang harus dilakukan, tapi kamu menolak untuk mencoba karena... apa? Gengsi?"
Pertanyaan Andi menampar Dinda. Ia terdiam, kata-kata Andi menggema di kepalanya. Gengsi? Apa mungkin dirinya begitu keras kepala hanya karena takut dipandang lemah?