OLEH: Khoeri Abdul Muid
"Apakah kopi hanya sekadar minuman?"
Nadia memandangi cangkir kopinya. Di hadapannya, Reza, sahabat lamanya, menatapnya dengan alis terangkat.
"Kenapa tiba-tiba filosofis gitu?" tanya Reza, tersenyum sambil menyeruput kopinya.
Nadia terdiam sejenak, menggenggam cangkirnya. "Reza, pernah nggak kamu bayangin berapa banyak tangan yang menyentuh biji kopi ini sebelum sampai ke kita?"
Reza mengerutkan kening. "Maksudmu petani kopi?"
Nadia mengangguk pelan, suaranya mulai lirih. "Iya... petani yang kerja keras di bawah terik matahari, tapi dibayar cuma secuil dari harga yang kita bayar di sini. Setiap biji kopi ini mengandung keringat dan cerita, Reza."
Reza tertawa kecil, "Jadi menurutmu, kita nggak boleh minum kopi ini? Karena beban moralnya?"
"Bukan begitu," sahut Nadia cepat. "Aku cuma ingin kita sadar... sadar kalau di balik aroma ini, ada kisah perjuangan yang sering kali kita lupakan. Dulu di Turki abad ke-16, wanita bisa minta cerai kalau suaminya nggak nyediain kopi buat mereka. Di Swedia abad ke-18, kopi dianggap sebagai simbol perlawanan pada kerajaan."
Reza menatapnya lebih serius, "Jadi, buatmu kopi ini lebih dari sekadar minuman?"
Nadia mengangguk. "Kopi ini, Reza, adalah pengingat. Di setiap seruputnya, ada kisah yang pahit. Seperti di Afrika dan Amerika Latin, tanah-tanah subur diambil paksa oleh kolonial, petani di sana dipaksa kerja berat, dijajah, diperbudak. Mereka nggak pernah merasakan manisnya hasil kerja keras mereka."
Reza menghela napas panjang, meletakkan cangkirnya. "Aku nggak pernah mikir sejauh itu. Bener juga, kita sering cuma nikmatin hasil akhirnya, tanpa tahu apa yang terjadi sebelumnya."
Nadia tersenyum kecil, meski ada bayang kesedihan di matanya. "Setiap cangkir kopi yang kita nikmati, Reza, menyimpan rasa yang lebih pahit dari yang kita tahu. Kadang, aku jadi bertanya---berapa banyak jejak luka yang kita hirup dalam aroma ini?"
Reza terdiam, merasakan keheningan yang berat di antara mereka. Untuk pertama kalinya, secangkir kopi di tangannya tak lagi terasa hanya sekadar minuman.
Nadia melanjutkan, "Kita di Jawa punya tradisi ngopi yang sarat makna. Saat bersilaturahmi, kopi selalu disajikan sebagai tanda penghormatan. Ini bukan sekadar ritual, tapi juga simbol kehangatan hubungan. Dalam setiap cangkir kopi, ada ikatan batin yang terjalin."
Reza mengangguk, teringat bagaimana neneknya selalu mengundang tetangga untuk ngopi sambil bercerita. "Aku ingat waktu kecil, aku selalu diajak ikut. Cerita-cerita yang mereka bagi itu berharga."
"Betul! Dalam setiap obrolan itu, kita belajar banyak hal. Kearifan lokal ini mengajarkan kita untuk saling menghargai dan peduli. Di balik secangkir kopi, ada pelajaran hidup yang tak ternilai," jelas Nadia dengan semangat.
"Jadi, setiap kali kita ngopi, kita juga menghormati para petani yang berjuang. Kita harus bisa menjaga tradisi ini dan menjadikannya sebagai wadah untuk berbagi cerita," tambah Reza, semakin terinspirasi.
Nadia tersenyum bangga, "Kita bisa mulai dengan menghargai setiap cangkir kopi yang kita minum, Reza. Ini bukan sekadar minuman, tapi bagian dari warisan dan identitas kita sebagai orang Jawa."
Keduanya terdiam sejenak, meresapi makna dalam setiap seruput kopi yang mereka nikmati. Dalam keheningan itu, mereka menyadari bahwa secangkir kopi lebih dari sekadar minuman---ia adalah pengingat akan perjuangan, tradisi, dan ikatan sosial yang mengikat komunitas mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H