Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Apakah Kurikulum Merdeka Masih Relevan? Saatnya Kembali ke Pendidikan Berpedoman

26 Oktober 2024   14:23 Diperbarui: 26 Oktober 2024   14:28 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Teori pendidikan menegaskan bahwa kurikulum adalah kerangka utama yang menetapkan tujuan, standar pencapaian, dan materi ajar untuk mengarahkan proses belajar-mengajar. 

Dalam teori "Perencanaan Terbalik" (Backward Design) oleh Grant Wiggins dan Jay McTighe, misalnya, ditegaskan bahwa kurikulum harus dimulai dari hasil belajar yang diharapkan agar tujuan dan pedoman pembelajaran menjadi jelas bagi guru dan peserta didik. 

Model ini menyarankan struktur kurikulum yang berpedoman ketat pada tujuan akhir yang ingin dicapai, yaitu kompetensi inti. Ketika pedoman ini longgar atau tidak terstruktur, seperti dalam Kurikulum Merdeka, tujuan pembelajaran menjadi sulit dipahami dan dicapai secara konsisten.

Sementara itu, Kurikulum Merdeka didesain dengan mengedepankan fleksibilitas dan diferensiasi pembelajaran, agar guru dapat menyesuaikan pendekatan sesuai dengan kondisi siswa. Namun, menurut teori konstruktivisme Vygotsky, pembelajaran sebaiknya tetap memiliki kerangka "Zona Proksimal Perkembangan" (ZPD), yang membatasi sejauh mana siswa dapat belajar secara mandiri. 

Tanpa batasan yang jelas, seperti dalam Kurikulum Merdeka, siswa cenderung mengalami kesulitan memahami materi karena kehilangan arah dalam mencapai kompetensi dasar.

Data internasional dari Program for International Student Assessment (PISA) dan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) menunjukkan penurunan kompetensi dasar pada siswa Indonesia, khususnya dalam literasi dan numerasi, sejak penerapan Kurikulum Merdeka. 

Penurunan ini bisa menjadi indikasi bahwa fleksibilitas yang terlalu bebas tanpa batasan dalam kurikulum dapat melemahkan pencapaian kompetensi dasar.

Oleh karena itu, banyak pihak menganggap perlunya kembali ke model kurikulum yang berpedoman, seperti model Nilai Ebtanas Murni (NEM) sebagai tolok ukur nasional dalam mengevaluasi kompetensi. 

NEM dan ujian nasional pada dasarnya dirancang sebagai alat standardisasi untuk memastikan setiap siswa menguasai kompetensi dasar secara merata di seluruh wilayah. 

Dengan demikian, sistem ini memberikan pijakan yang kuat bagi proses belajar-mengajar yang terukur dan berkelanjutan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun