Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah_Sor_Pring]. REDAKTUR penerbit buku ber-ISBN dan mitra jurnal ilmiah terakreditasi SINTA: Media Didaktik Indonesia [MDI]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pantun di Balik Tawa dan Air Mata

21 Oktober 2024   15:01 Diperbarui: 21 Oktober 2024   15:07 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Tawa dan tangis. (Foto: pixabay)

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Apakah tawa selalu membawa kebahagiaan? Apakah sebuah candaan tak pernah melukai hati? 

Pagi itu di SD Negeri Kuryokalangan 02, pertanyaan-pertanyaan ini tak pernah terlintas di benak para siswa yang tengah sibuk mempersiapkan lomba pantun jenaka. Suasana lapangan ramai, penuh dengan canda tawa, tapi tak semua hati di sana riang.

Bu Hartini, wali kelas yang terkenal penuh perhatian, berdiri di tengah lapangan, memastikan acara berjalan lancar. "Ingat, anak-anak, pantun jenaka itu untuk menghibur, bukan untuk menyakiti. Hati-hati memilih kata-kata."

Namun, di sudut kelas, seorang anak duduk termenung. Ardi, siswa yang biasanya ceria, tampak murung. Ia menatap kertas di tangannya yang masih kosong, sementara teman-temannya sudah sibuk mempersiapkan pantun jenaka mereka.

"Kenapa, Di? Kamu belum buat pantunnya?" tanya Siti, sahabatnya, yang datang menghampiri.

Ardi menunduk, tangannya gemetar. "Aku takut pantunku nggak lucu. Aku nggak pandai membuat orang tertawa. Semua orang pasti akan mengejekku."

Siti terdiam, tak tahu harus berkata apa. Ia tahu betul bagaimana Ardi sering menjadi sasaran lelucon teman-temannya, lelucon yang sering kali terlalu tajam untuk diabaikan.

Saat itulah Bu Hartini mendekat. "Ardi, kamu tidak perlu takut. Kadang yang sederhana itu yang paling menghibur. Coba, apa yang ingin kamu sampaikan?"

Ardi ragu-ragu, tapi akhirnya mencoba. "Bu... kalau ini gimana? 'Burung gelatik, lagi hinggap di batu. Kamu memang cantik, tapi kok badannya bau.'"

Seketika seluruh kelas yang mendengar meledak dalam tawa. Tawa yang keras, nyaris tak terkontrol. Namun, tawa itu terasa pahit bagi Ardi. Wajahnya berubah muram, bibirnya bergetar menahan rasa malu.

Bu Hartini segera menyadari ada yang salah. Tawa yang awalnya ringan berubah menjadi sorak ejekan. "Ardi, itu bagus sekali," katanya lembut, mencoba meredakan suasana. Namun, Ardi sudah terlalu terluka.

Siang itu, ketika semua anak berkumpul dan melanjutkan lomba, Ardi menghilang. Dia bersembunyi di balik kelas, menahan air mata. "Kenapa mereka selalu menertawakanku, Bu?" tanyanya lirih saat Bu Hartini menemukannya.

Bu Hartini duduk di sebelah Ardi, meletakkan tangannya di pundak anak itu. "Tawa bisa jadi sangat menyakitkan, Ardi. Tapi kamu tahu, tawa yang tulus tidak akan membuat orang merasa buruk. Mereka mungkin tidak sadar kalau apa yang mereka lakukan menyakiti hatimu."

Ardi terdiam, mencoba menahan tangis yang sudah tak terbendung lagi. "Aku cuma ingin ikut lomba, Bu. Tapi kenapa harus jadi seperti ini?"

Dengan lembut, Bu Hartini menjawab, "Kamu sudah berani, Ardi. Kamu sudah melangkah ke depan dengan keberanianmu. Tidak semua orang bisa melakukannya. Tawa mereka mungkin tidak adil, tapi itu bukan karena pantunmu buruk. Itu karena mereka belum belajar bagaimana menghargai keberanian."

Hari itu, Ardi tak memenangkan lomba, tetapi dia telah memenangkan sesuatu yang lebih besar---rasa hormat dari Bu Hartini dan sebuah pelajaran tentang arti sesungguhnya dari tawa. Sebuah tawa bukan hanya soal kebahagiaan, tapi juga soal menjaga perasaan.

"Ardi," kata Bu Hartini, "pantun jenaka itu memang untuk menghibur. Tapi yang terpenting, kita harus selalu menghormati hati orang lain. Jangan biarkan tawa menjadi alasan untuk melukai."

Ardi tersenyum tipis, meski di balik senyumnya ada sisa-sisa luka. Di tengah lapangan, anak-anak kembali sibuk dengan tawa mereka, namun Ardi merasa ada jarak yang tak kasatmata. Saat lomba usai, ia berjalan pelan, melirik ke arah teman-temannya yang masih bersenda gurau.

Dan di kejauhan, Bu Hartini memperhatikan dengan penuh perhatian. Ada sesuatu di mata Ardi yang belum sepenuhnya hilang, sesuatu yang mungkin akan...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun