OLEH: Khoeri Abdul Muid
Perlukah tradisi Midodareni, yang biasanya diadakan menjelang pernikahan, diadopsi dalam pelantikan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai pejabat baru?Â
Pertanyaan ini mencuat di tengah momen bersejarah yang dinantikan oleh para pendukung dan masyarakat yang berharap akan perubahan. Dalam konteks budaya Jawa, ritual ini sarat akan makna simbolis yang dalam, menyiratkan harapan dan tanggung jawab yang akan diemban oleh para pemimpin.
Simbolisme dan Harapan
Midodareni adalah malam harapan. Dalam tradisi Jawa, simbolisme menjadi jendela untuk memahami makna yang lebih dalam di balik setiap peristiwa. Momen ini bukan sekadar ritual; ia merupakan ungkapan aspirasi untuk masa depan yang sejahtera dan penuh berkah. Dalam konteks pelantikan, Prabowo dan Gibran dapat merenungkan tanggung jawab yang mereka emban dengan kesadaran bahwa mereka akan memimpin rakyat menuju harapan yang lebih baik.Â
Dengan mengadopsi elemen simbolis dari Midodareni, mereka dapat menciptakan kesan bahwa pelantikan bukan sekadar acara formal, tetapi juga sebagai titik awal perjalanan baru yang penuh tantangan dan harapan. Di tengah dinamika dunia yang semakin kompleks, harapan adalah bahan bakar yang mendorong kita untuk terus melangkah, menjadi sumber inspirasi dalam menghadapi tantangan.
Menghormati Tradisi
Budaya Jawa, yang kaya akan nilai-nilai mendalam, menekankan pentingnya menghormati tradisi. Dalam keragaman Indonesia, kearifan lokal menjadi landasan yang memperkuat identitas bangsa. Mengintegrasikan tradisi Midodareni dalam pelantikan dapat menjadi cara untuk mengikat diri dengan akar budaya dan menjalin kedekatan dengan masyarakat.Â
Dalam pandangan filsafat sosial, tradisi bukanlah beban, tetapi jembatan yang menghubungkan generasi. Ritual ini dapat menciptakan rasa persatuan, di mana para pemimpin menjadi simbol harapan bersama. Menghormati tradisi berarti menghargai warisan yang telah dibangun oleh generasi sebelumnya dan menunjukkan bahwa nilai-nilai tersebut tetap relevan dalam era modern yang terus berubah.
Aspek Pragmatik
Namun, dalam konteks formal, terdapat pendapat yang menyatakan bahwa ritual semacam itu mungkin tidak relevan. Pelantikan, sebagai momen resmi, seharusnya lebih fokus pada aspek pemerintahan dan kebijakan. Dalam perspektif pragmatis, para pemimpin perlu memperlihatkan profesionalisme dan efisiensi.Â
Beberapa pihak mungkin berpendapat bahwa menghabiskan waktu untuk ritual dapat mengalihkan perhatian dari isu-isu penting yang harus segera diatasi. Di sini, kita dihadapkan pada dilema antara menjaga tradisi dan memenuhi tuntutan zaman, antara aspek kultural dan fungsi pemerintahan.
Kesimpulan
Ritual Midodareni dalam konteks pelantikan Prabowo dan Gibran menyajikan isu yang kaya akan makna. Di satu sisi, terdapat potensi untuk mengadopsi simbolisme harapan dan penghormatan terhadap tradisi, menciptakan ruang bagi nilai-nilai kearifan lokal dalam kepemimpinan.Â
Di sisi lain, penting untuk mempertimbangkan konteks formal dari pelantikan sebagai pejabat publik, di mana pragmatisme dan profesionalisme sangat diperlukan.
Akhirnya, keputusan untuk melibatkan ritual atau tidak akan sangat bergantung pada pandangan dan nilai yang dianut oleh Prabowo, Gibran, serta masyarakat yang mereka wakili.Â
Momen ini berpotensi menjadi jembatan antara tradisi dan modernitas, menciptakan sinergi positif dalam perjalanan kepemimpinan mereka.Â
Refleksi yang mendalam dalam momen pelantikan ini mungkin menjadi kunci untuk menciptakan masa depan yang lebih baik, di mana tradisi dan inovasi berjalan beriringan, menciptakan harmoni dalam kehidupan sosial dan politik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H