Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kenapa Kamu Selalu Bikin Aku Senyum?

19 Oktober 2024   14:00 Diperbarui: 19 Oktober 2024   14:00 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pasangan cinta, romantis. (Photo by Ryan Holloway on Unsplash)

IOLEH: Khoeri Abdul Muid

Langit sore di taman kota sudah mulai berubah oranye, menciptakan siluet panjang dari pepohonan dan bangku-bangku kosong. Di tengah kedamaian itu, Mia dan Fajar duduk berdampingan, seperti biasa. Tapi ada sesuatu yang berbeda sore ini. Ada ketegangan tak terlihat di antara tawa mereka.

"Kenapa kamu selalu bisa bikin aku senyum, Faj?" suara Mia terdengar nyaris berbisik, tapi berat, penuh arti. Matanya tak lagi memandang langit, tapi lurus menatap Fajar. Ia mencari jawaban yang lebih dari sekadar lelucon atau rayuan gombal biasa.

Fajar, yang tadinya asyik menikmati langit senja, menoleh pelan. Senyum tipisnya tetap ada, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam. "Mungkin karena senyummu itu adalah satu-satunya yang bikin aku merasa hidup," jawabnya, suaranya rendah, hampir seperti rahasia yang baru saja terungkap.

Mia tertawa kecil, tapi nada tawanya goyah. "Gombal terus, ya. Serius, deh. Kamu selalu punya cara buat bikin aku merasa... baik-baik saja, meski dunia di sekitarku sering kali berantakan."

Fajar menatapnya lebih lama, senyumnya memudar. "Mungkin karena aku tahu gimana rasanya berada di dunia yang berantakan, Mi. Kadang kita cuma butuh seseorang yang bisa bikin kita lupa sejenak dari semua itu."

Mia terdiam. Ada getaran di dadanya yang tak biasa. Angin sore yang biasanya membawa kedamaian kini terasa dingin, menelusup ke kulit, seolah mengingatkannya akan kenyataan yang tak bisa ia abaikan.

"Kamu tahu, Faj," Mia berkata pelan, suaranya hampir retak. "Aku sering bertanya-tanya... kenapa kamu bisa begitu mudah bikin aku bahagia, sementara aku tahu... di dalam dirimu, ada banyak hal yang kamu sembunyikan. Ada rasa sakit yang nggak pernah kamu ceritakan."

Fajar membuang pandangannya ke arah jalan setapak yang sepi. Wajahnya yang biasanya ceria kini berubah kelam, seperti langit yang perlahan kehilangan sinar matahari.

"Karena, Mia," Fajar menarik napas dalam-dalam, "aku lebih memilih melihatmu bahagia daripada harus menghadapi kenyataan bahwa aku sendiri mungkin nggak akan pernah benar-benar bisa merasa seperti itu lagi."

Kata-kata Fajar menggantung di udara, berat dan menghantam keras di hati Mia. Ia ingin menolak, ingin memprotes, tapi ada kebenaran dalam suara Fajar yang tidak bisa ia sangkal.

"Kamu... ngapain ngomong kayak gitu?" Mia berbisik, matanya kini berkilat dengan air mata yang ditahannya. "Kamu selalu bikin aku tertawa. Aku pikir... aku pikir kita sama-sama bikin satu sama lain bahagia."

Fajar tersenyum pahit. "Aku ingin percaya itu, Mi. Tapi kadang, kita tertawa hanya untuk menutupi rasa takut yang lebih dalam."

Keheningan menggantung di antara mereka. Taman kota yang biasanya menjadi saksi canda mereka kini terasa seperti tempat yang asing, dingin, seolah setiap pohon dan bangku ikut merasakan beratnya percakapan mereka.

"Kamu selalu berhasil bikin aku senyum, Faj," Mia berkata lagi, suaranya bergetar. "Tapi kalau itu berarti kamu harus menyembunyikan perasaanmu sendiri, aku nggak mau. Aku nggak mau kamu jadi pahlawan yang terus menyelamatkan orang lain, sementara kamu sendiri terluka."

Fajar menatapnya dengan tatapan yang dalam, penuh luka yang tak pernah ia tunjukkan. "Aku nggak minta jadi pahlawan, Mia. Aku cuma nggak ingin melihat kamu terluka. Itu aja."

Mia menggenggam tangan Fajar, erat. Air matanya kini tak lagi bisa ditahan. "Kalau aku berarti sesuatu buat kamu, Faj, kamu harus jujur sama perasaanmu. Kita bisa hadapi ini bersama. Kamu nggak perlu sendirian."

Untuk pertama kalinya, Fajar terlihat rapuh. Topeng ceria yang selama ini ia kenakan runtuh, memperlihatkan rasa sakit yang selama ini ia pendam. Mata mereka bertemu, dan dalam keheningan itu, mereka saling mengerti---tak ada lagi kata-kata gombal, tak ada lagi tawa yang menutupi perasaan.

Senja kini berubah gelap, tapi di bawah langit yang mulai dihiasi bintang, Mia dan Fajar duduk lebih dekat, dalam diam yang penuh makna. Mereka tahu, ini bukan lagi tentang siapa yang bisa membuat siapa tersenyum. Ini tentang dua hati yang mencoba saling menyelamatkan di tengah kerapuhan masing-masing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun