Namun, apakah pemberantasan korupsi hanya cukup dengan penguatan institusi atau ada aspek moral yang harus diperkuat dari dalam?
Hukum tanpa moralitas hanya akan menjadi sekadar alat kekuasaan. Filsafat politik menegaskan bahwa hukum harus menjadi refleksi dari keadilan substantif, bukan sekadar prosedural.
Pembekalan ini harus mampu membawa wacana hukum yang tidak hanya menindak korupsi, tetapi juga mencegahnya melalui perubahan fundamental dalam budaya politik.
Di balik pembekalan ini, ada teori kepemimpinan yang berperan. Dalam pandangan Max Weber, legitimasi kekuasaan dapat diperoleh melalui karisma, tradisi, atau rasionalitas legal.
Prabowo Subianto, dengan latar belakang militer dan karisma politiknya, harus membuktikan bahwa kepemimpinannya bukan hanya berbasis pada karisma, tetapi juga pada kemampuan rasional mengatasi tantangan-tantangan zaman.
Filsafat politik juga menekankan pentingnya komunikasi dalam pemerintahan. Komunikasi bukan hanya alat untuk menyampaikan pesan, tetapi sebuah seni dalam membangun kepercayaan dan menciptakan dialog antara pemerintah dan rakyat.
Dalam pembekalan ini, Prabowo menghadapi ujian penting: bagaimana mengkomunikasikan visi yang jelas kepada para calon pembantunya, dan bagaimana memastikan visi tersebut dapat dijalankan secara efektif?
Pada akhirnya, momen ini lebih dari sekadar pembekalan teknis; ia adalah refleksi atas masa depan Indonesia.
Setiap langkah yang diambil, setiap keputusan yang dibuat oleh kabinet ini, akan menentukan apakah bangsa ini mampu melangkah ke arah yang lebih baik atau terjebak dalam lingkaran persoalan yang sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H