OLEH: Khoeri Abdul Muid
Apakah kekuasaan selalu diiringi dengan harapan baru, atau justru terjebak dalam siklus yang sama?
Pembekalan calon menteri oleh presiden terpilih, Prabowo Subianto, pada hari ini membuka lembaran refleksi mendalam. Mengapa proses ini begitu penting, dan apakah arah yang ditawarkan benar-benar akan membawa perubahan yang signifikan bagi Indonesia?
Dalam pandangan politik, hukum, dan filsafat, momen ini memunculkan banyak pertanyaan mengenai masa depan pemerintahan, arah kebijakan, serta etika kekuasaan.
Dari perspektif politik, pemilihan kabinet adalah penentu arah kebijakan sebuah pemerintahan. Prabowo, sebagai pemimpin baru, dihadapkan pada tantangan besar untuk memenuhi ekspektasi yang dibebankan pada pundaknya.
Apakah Prabowo mampu menghadirkan solusi nyata untuk permasalahan struktural yang selama ini dihadapi bangsa, seperti ketidaksetaraan ekonomi, korupsi, dan krisis sumber daya manusia dalam menghadapi revolusi teknologi?
Pembahasan tentang Artificial Intelligence (AI) yang menjadi tema pembekalan hari ini mencerminkan betapa besarnya perhatian terhadap masa depan digital Indonesia. AI bukan hanya alat teknologi, melainkan simbol dari kemajuan peradaban.
Dalam konteks politik, AI menawarkan efisiensi pemerintahan, namun dari perspektif filsafat, ada pertanyaan mendasar: sejauh mana AI mampu menggantikan peran manusia dalam keputusan moral dan etis?
Penggunaan AI harus dibarengi dengan pemikiran filosofis tentang batasan-batasan manusia dalam menghadapi teknologi yang dapat menciptakan kesenjangan baru antara mereka yang menguasai teknologi dan yang tertinggal.
Di sisi hukum, pembahasan antikorupsi juga menjadi sorotan. Korupsi telah menjadi penyakit kronis yang menggerogoti tatanan pemerintahan dan kepercayaan publik.