Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Ketika Hukum Tertunda, Apakah Ketidakpastian Merupakan Cermin Demokrasi yang Sehat?

12 Oktober 2024   07:36 Diperbarui: 12 Oktober 2024   07:36 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Apakah sebuah keputusan hukum yang ditunda mampu mengubah arah politik dan kepercayaan publik terhadap sistem?

Di tengah dinamika politik yang selalu bergolak, penundaan pembacaan putusan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta akibat sakitnya Ketua Majelis Hakim mungkin tampak sebagai insiden teknis yang biasa. Namun, dalam lanskap hukum dan politik yang rumit, setiap detil seperti ini memiliki bobot simbolis yang besar.

Perspektif Hukum: Kekuasaan dan Kewenangan Hakim

Hukum, dalam tatanannya yang formal, adalah penjaga ketertiban di tengah badai perubahan sosial. Sistem peradilan Indonesia memberi ruang bagi prosedur dan protokol yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan. Ketika Ketua Majelis Hakim PTUN, Joko Setiono, jatuh sakit dan pembacaan putusan harus ditunda, ada ketentuan hukum yang mendasari hal ini. Tidak semua hakim dapat begitu saja digantikan, apalagi dalam perkara yang sedang diajukan oleh PDIP, salah satu partai politik terbesar di negeri ini. Dalam teori peradilan modern, hakim bukan hanya instrumen hukum; ia adalah simbol dari otoritas moral negara. Ketidakhadirannya adalah ketidakhadiran kepastian hukum yang ditunggu-tunggu banyak pihak.

Namun, di balik penundaan ini, ada pertanyaan yang lebih mendalam: apakah keadilan tergantung pada tubuh seorang hakim? Dalam konsep "keadilan tertunda adalah keadilan yang diperkosa" (delayed justice is denied justice), sakitnya seorang hakim dapat menunda jalan panjang menuju kepastian hukum, sekaligus memperpanjang ketidakpastian politik. Di sinilah kekuatan simbolik PTUN sebagai benteng terakhir bagi proses administrasi negara diuji.

Perspektif Politik: Narasi Kekuasaan di Tengah Pemilu

Kasus ini tidak hanya berkaitan dengan persoalan hukum; ini adalah fragmen dari mozaik politik nasional yang lebih besar. Gugatan PDIP terhadap pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden membawa dimensi personal dan struktural. Gibran, sebagai anak Presiden Jokowi, menjadi sosok sentral dalam pusaran politik dinasti. PDIP, melalui gugatan ini, menunjukkan sikap politik yang tegas---mereka tidak hanya menentang penetapan KPU, tetapi juga berusaha membatalkan hasil Pilpres yang menempatkan pasangan Prabowo Subianto dan Gibran sebagai pemenang.

Dalam ranah politik, teori kekuasaan menyebutkan bahwa "kekuasaan tidak pernah berdiri sendiri, ia selalu bersandar pada legitimasi." PDIP berupaya mempertanyakan legitimasi pencalonan Gibran, yang tidak hanya menyangkut nama besar keluarga, tetapi juga stabilitas politik bangsa. Penundaan ini, meski mungkin disebabkan oleh sakitnya hakim, memberi ruang bagi spekulasi, perdebatan, dan penggalangan dukungan politik yang lebih intens.

Teori Lain: Ketidakpastian dan Hegemoni

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun