Dari perspektif teori hegemoni Gramsci, ketidakpastian adalah alat bagi kelas penguasa untuk mempertahankan status quo. Saat rakyat masih berada dalam kebingungan hukum dan politik, penguasa bisa memperkuat cengkeramannya. Penundaan putusan ini, tanpa disadari, dapat memberi ruang bagi kekuatan politik tertentu untuk memperkuat pengaruhnya di balik layar, sementara lawan-lawan politiknya tetap berada dalam bayang-bayang ketidakpastian.
Namun, di sisi lain, teori post-modern tentang hukum dan politik juga menyoroti bahwa ketidakpastian justru adalah tanda dari dinamika demokrasi yang sehat. Demokrasi tidak selalu berjalan di atas rel-rel yang jelas dan pasti; ia kerap bergelombang, penuh pertanyaan, dan bergerak dengan ritme yang sulit diprediksi.
Refleksi: Ketidakpastian sebagai Cermin Demokrasi
Pada akhirnya, penundaan ini adalah cermin dari kompleksitas demokrasi modern. Hukum, politik, dan teori kekuasaan semuanya terjalin erat dalam narasi ini. Kita hidup di dunia di mana perdebatan hukum tidak hanya berakhir di ruang pengadilan, tetapi juga di ranah publik, media, dan di balik layar politik yang selalu bergerak dinamis. Dalam demokrasi, ketidakpastian bukanlah akhir, melainkan proses yang memperlihatkan bahwa kekuasaan selalu harus diuji, baik oleh hukum maupun oleh rakyat.
Jika penundaan putusan ini, lebih dari sekadar persoalan sakitnya seorang hakim, adalah penundaan yang menggugah kita untuk merenungkan ulang relasi antara hukum dan politik, serta bagaimana keduanya membentuk tatanan sosial yang kita jalani bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H