OLEH: Khoeri Abdul Muid
Malam itu gelap gulita, seolah rembulan bersembunyi di balik awan tebal. Mbak Sumi, seorang bakul tempe, melangkah pelan di jalan setapak yang membelah sawah. Sebelum cahaya listrik menerangi desanya, kegelapan malam menjadi sahabat setia bagi setiap langkahnya menuju pasar kecamatan.
Setiap malam, Sumi melewati jalan ini, menyusuri jalan setapak di tepi sawah yang dulunya merupakan kuburan kuno. Namun, malam ini, sesuatu terasa berbeda. Ia merasakan desiran dingin di lehernya, membuat bulu kuduknya berdiri. Suara-suara malam menjadi lebih hidup---kicau burung malam yang jarang terdengar, desiran angin yang membawa aroma tanah basah, dan suara kerikil yang bergulir.
Di kejauhan, Sumi mendengar tawa. Pelan, namun menggelitik rasa takutnya. "Glundhung Pecengis," suara itu berbisik dalam pikirannya. Ia teringat cerita orang tua di desanya---tentang makhluk yang menggoda siapa saja yang berani melintas sendirian di jalan itu.
Sumi menepuk pipinya, mencoba menepis rasa takut. "Cukup Sumi, ini hanya imajinasimu," bisiknya pada diri sendiri. Ia terus melangkah, berusaha tidak memikirkan makhluk yang konon mengintai dalam kegelapan.
Namun, semakin ia melangkah, suara tawa itu semakin mendekat. Kini, bukan hanya terdengar, tetapi juga terasa---seperti napas dingin yang menyentuh kulitnya. Sumi mempercepat langkah, namun suara itu tetap mengikuti, menari-nari di belakangnya. "Tertawalah... tertawalah bersamaku..." terdengar semakin jelas, menggema di antara pepohonan yang mengelilingi sawah.
Jantung Sumi berdegup kencang. Ia berbalik, berharap bisa melihat makhluk yang mengganggunya. Hanya gelap yang menyambutnya, tetapi tawa itu semakin dekat, semakin menggoda, semakin meresahkan. Dengan setiap detakan langkahnya, suara itu semakin keras, seolah makhluk itu ingin keluar dari bayangan.
Akhirnya, Sumi sampai di tepi sawah. Tanah yang lembap dan dingin mengelilinginya. Ia berusaha tenang, mengambil napas dalam-dalam. Namun, saat ia melihat ke belakang, bayangan besar berguling-guling mendekat, tertawa dengan suara yang membuat jiwanya menciut. "Glundhung Pecengis..." ia berbisik, suara tenggelam dalam keraguan.
Tiba-tiba, kakinya tersandung akar pohon dan ia terjatuh. Obor yang dibawanya terjatuh, memadamkan cahaya yang tersisa. Dalam kegelapan total, ia merasakan tanah di sekelilingnya mulai bergerak, seolah makhluk itu berusaha menariknya ke dalam.
Dalam keadaan panik, Sumi berusaha bangkit, tetapi tanah terasa seperti menjebak tubuhnya. Suara tawa itu kini mengisi kepalanya, menggema di seluruh pikirannya, semakin menghantui dan menggelitik rasa takutnya. "Tertawalah... tertawalah bersamaku..." suara itu terdengar semakin dekat, membuatnya merasakan kehadiran makhluk itu di sampingnya.