OLEH: Khoeri Abdul Muid
Bagaimana kita bisa mempertahankan perdamaian dunia jika prinsip-prinsip yang menopang hukum internasional secara terus-menerus dilanggar?
Ketika Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, dengan tegas mengecam serangan Israel terhadap markas Pasukan Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa di Lebanon (UNIFIL), pertanyaan ini kembali mengemuka. Serangan tersebut tidak hanya melukai dua penjaga perdamaian asal Indonesia, tetapi juga menantang dasar-dasar multilateralisme dan hukum humaniter internasional. Apakah sistem internasional masih efektif ketika pelanggaran terang-terangan terhadap perdamaian terjadi?
Multilateralisme adalah fondasi tata dunia modern, sebuah cara bagi negara-negara untuk menyelesaikan konflik dan menjaga perdamaian melalui dialog, kerja sama, dan aturan hukum. Namun, seperti yang disampaikan Retno, serangan ini merupakan ancaman langsung terhadap multilateralisme itu sendiri.
Filsuf politik Immanuel Kant, dalam esainya "Perpetual Peace," menegaskan bahwa perdamaian hanya dapat dicapai jika negara-negara menghormati aturan dan komitmen bersama. Ketika Israel menyerang UNIFIL, ia tidak hanya menyerang sekelompok individu yang mengenakan helm biru, tetapi juga menyerang gagasan perdamaian global yang diusung oleh PBB.
Retno mengingatkan kita bahwa serangan ini merupakan pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional. Hukum ini, yang secara khusus diatur dalam Konvensi Jenewa, melindungi mereka yang tidak terlibat langsung dalam pertempuran, termasuk pasukan penjaga perdamaian. Hukum ini dibentuk dengan prinsip universalitas, bahwa dalam konflik, ada batasan moral dan legal yang harus dihormati.
Namun, jika hukum ini terus-menerus dilanggar tanpa konsekuensi, maka legitimasi hukum internasional itu sendiri berada dalam bahaya. Dalam hal ini, pandangan ahli hukum Hans Kelsen tentang supremasi hukum internasional menjadi relevan; ketika negara-negara gagal untuk mematuhi hukum internasional, mereka melemahkan tatanan hukum global yang menjadi penopang stabilitas dunia.
Retno juga menyentuh aspek yang lebih dalam, yaitu kredibilitas Dewan Keamanan PBB. Sebagai lembaga yang seharusnya menjaga perdamaian dan keamanan internasional, Dewan Keamanan sering kali terperangkap dalam dinamika politik yang rumit antara negara-negara besar. Israel, yang memiliki hubungan erat dengan Amerika Serikat, sering kali mendapatkan perlindungan politik dari veto AS di Dewan Keamanan.
Dalam konteks ini, teori realpolitik mengajarkan kita bahwa kepentingan nasional dan kekuasaan sering kali mengalahkan komitmen moral dan hukum. Namun, jika Dewan Keamanan terus gagal bertindak, apakah itu berarti sistem multilateralisme yang kita yakini sedang mengalami disintegrasi?
Sebaliknya, Retno menyerukan kepada Amerika Serikat---sebagai anggota tetap Dewan Keamanan---untuk bertindak dan memastikan keselamatan pasukan UNIFIL. Seruan ini penting karena AS, dengan pengaruh globalnya, memiliki tanggung jawab moral dan politik untuk mendukung perdamaian.
Dalam perspektif filsafat politik John Rawls, keadilan global menuntut negara-negara kuat untuk bertindak demi kesejahteraan kolektif, bukan semata demi kepentingan mereka sendiri. Amerika Serikat, dalam hal ini, dihadapkan pada pilihan moral: mendukung hukum internasional atau mempertahankan aliansi politiknya dengan Israel.
Selain itu, seruan Retno untuk menjalin kerja sama yang lebih erat di bidang energi hijau dan ekonomi digital di forum ASEAN-AS mengingatkan kita bahwa perdamaian dan stabilitas tidak hanya dibangun melalui diplomasi militer, tetapi juga melalui kemakmuran dan pembangunan berkelanjutan.
Inisiatif ini mencerminkan pemikiran ilmuwan politik Robert Keohane tentang interdependensi kompleks, di mana kerja sama internasional dalam ekonomi dan teknologi dapat memperkuat perdamaian dengan menciptakan jaringan ketergantungan antara negara-negara.
Namun, semua ini akan sia-sia jika hukum internasional terus dilanggar tanpa konsekuensi. Pada akhirnya, pertanyaannya adalah: Seberapa jauh multilateralisme dapat bertahan ketika kekuatan-kekuatan besar memilih untuk bermain sesuai aturan mereka sendiri?
Jawaban ini mungkin terletak pada seberapa kuat suara komunitas internasional---termasuk negara-negara berkembang seperti Indonesia---dalam menuntut keadilan dan tanggung jawab di panggung global.
Dengan serangan terhadap UNIFIL ini, dunia kembali diingatkan bahwa perdamaian adalah konstruksi yang rapuh. Jika hukum dan multilateralisme tidak dijaga, maka apa yang tersisa untuk melindungi kita dari kekacauan global?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H