Dalam perspektif filsafat politik John Rawls, keadilan global menuntut negara-negara kuat untuk bertindak demi kesejahteraan kolektif, bukan semata demi kepentingan mereka sendiri. Amerika Serikat, dalam hal ini, dihadapkan pada pilihan moral: mendukung hukum internasional atau mempertahankan aliansi politiknya dengan Israel.
Selain itu, seruan Retno untuk menjalin kerja sama yang lebih erat di bidang energi hijau dan ekonomi digital di forum ASEAN-AS mengingatkan kita bahwa perdamaian dan stabilitas tidak hanya dibangun melalui diplomasi militer, tetapi juga melalui kemakmuran dan pembangunan berkelanjutan.
Inisiatif ini mencerminkan pemikiran ilmuwan politik Robert Keohane tentang interdependensi kompleks, di mana kerja sama internasional dalam ekonomi dan teknologi dapat memperkuat perdamaian dengan menciptakan jaringan ketergantungan antara negara-negara.
Namun, semua ini akan sia-sia jika hukum internasional terus dilanggar tanpa konsekuensi. Pada akhirnya, pertanyaannya adalah: Seberapa jauh multilateralisme dapat bertahan ketika kekuatan-kekuatan besar memilih untuk bermain sesuai aturan mereka sendiri?
Jawaban ini mungkin terletak pada seberapa kuat suara komunitas internasional---termasuk negara-negara berkembang seperti Indonesia---dalam menuntut keadilan dan tanggung jawab di panggung global.
Dengan serangan terhadap UNIFIL ini, dunia kembali diingatkan bahwa perdamaian adalah konstruksi yang rapuh. Jika hukum dan multilateralisme tidak dijaga, maka apa yang tersisa untuk melindungi kita dari kekacauan global?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H