Dalam konteks modern, narasi yang terbentuk setelah sebuah pertandingan sering kali lebih kuat daripada fakta-fakta yang terjadi di lapangan. Jean Baudrillard, dalam teori hyperreality-nya, menjelaskan bagaimana realitas kini sering kali dikonstruksi melalui representasi yang melebihi kenyataan itu sendiri. Dalam kasus ini, narasi "wasit yang menambah waktu hingga lawan mencetak gol" bisa jadi akan lebih diingat daripada detail pertandingan itu sendiri.
Kenyataan yang dikonstruksi oleh media, terutama media sosial, membentuk persepsi publik tentang apa yang "benar" dan "salah." Ketika PSSI melayangkan protes resmi terhadap kepemimpinan wasit, mereka tidak hanya berusaha mengoreksi keputusan teknis, tetapi juga sedang membangun narasi keadilan mereka sendiri di mata para pendukung. Pertanyaannya adalah, apakah keadilan itu memang objektif, atau ia hanyalah produk dari narasi yang kita pilih untuk percaya?
Refleksi Terhadap Demokrasi dan Kepemimpinan dalam Olahraga
Jika kita melihat lebih dalam, kasus ini juga bisa dilihat sebagai cerminan demokrasi dalam olahraga, di mana keputusan di lapangan, meski berada di tangan satu orang (wasit), tetap menjadi bahan evaluasi dan diskusi publik yang lebih luas. Demokrasi, sebagaimana diungkapkan oleh Chantal Mouffe, selalu melibatkan pertarungan antara berbagai kekuatan dan kepentingan. Di sini, sportivitas dan keadilan menjadi medan pertarungan antara keputusan otoritatif wasit dan penilaian dari institusi, dalam hal ini PSSI dan para pendukungnya.
Bahkan, filsuf politik seperti Michel Foucault mengingatkan bahwa kekuasaan tidak hanya berjalan secara vertikal dari otoritas ke bawah, tetapi juga bergerak melalui wacana, kritik, dan resistensi. Ketika PSSI mengajukan protes resmi, mereka sedang menggunakan hak mereka untuk menantang kekuasaan, memaksa institusi olahraga untuk meninjau kembali keputusan wasit sebagai representasi dari hukum yang seharusnya adil dan netral.
Penutup: Keadilan dalam Sepak Bola, Cermin Masyarakat
Pertandingan sepak bola lebih dari sekadar hiburan. Ia adalah cermin dari masyarakat kita, tempat di mana ide-ide besar seperti keadilan, kekuasaan, dan sportivitas diuji dan dibentuk. Dalam kasus "injury time yang kontroversial" ini, kita dihadapkan pada pertanyaan mendasar: apakah aturan itu sendiri cukup untuk menjamin keadilan, ataukah interpretasi dan penerapannya yang lebih penting? Akhirnya, kita harus bertanya pada diri sendiri, seberapa jauh kita mempercayai institusi yang menjaga keadilan dalam olahraga, dan bagaimana kita sebagai masyarakat seharusnya bereaksi ketika keadilan itu dirasa direnggut?
Waktu di lapangan mungkin telah habis, tetapi perdebatan tentang keadilan dan sportivitas dalam sepak bola akan terus berlanjut, sama seperti demokrasi dan hukum yang terus berkembang. Pertanyaannya: akankah kita tetap berada di pinggir lapangan, atau terlibat dalam proses perubahan itu sendiri?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H