OLEH: Khoeri Abdul Muid
Apa sebenarnya yang membuat sebuah lagu sederhana seperti Kita Bikin Romantis dari Maliq & D'essentials bisa menjadi fenomena sosial dan ekonomi?
Pertanyaan ini mengusik banyak pemikiran, terutama di tengah gelombang tren budaya dan bisnis musik yang kini tidak lagi hanya berkisar pada kualitas suara atau melodi, tetapi juga padadetik.com bagaimana ia diterjemahkan, dibagikan, dan ditafsirkan di media sosial.
Fenomena Maliq & D'essentials yang mendadak "tajir" berkat viralnya lagu mereka adalah contoh nyata bagaimana musik telah berubah menjadi komoditas di era digital, bukan hanya sebuah karya seni yang berdiri sendiri.
Di sini, kita melihat pergeseran dari apresiasi estetik menuju pengalaman sosial yang melibatkan emosi, tren viral, dan kapitalisasi. Lalu, apa yang membuat Kita Bikin Romantis begitu kuat hingga mampu menembus batas-batas sosial, bahkan usia?
Romantisme sebagai Produk dan Tren Budaya
Romantisme dalam musik sering kali disalahartikan sebagai sekadar cerita cinta yang dikemas dalam nada-nada manis. Namun, jika kita telusuri lebih dalam, ia adalah salah satu bentuk pelarian dari realitas yang keras. Lagu-lagu seperti Kita Bikin Romantis menawarkan eskapisme yang mudah diakses, terutama dalam dunia yang semakin individualis.
Ketika orang terjebak dalam hiruk pikuk kehidupan modern yang dingin, musik menjadi ruang bagi mereka untuk merasakan kehangatan dan nostalgia.
Dari perspektif budaya, Maliq & D'essentials menawarkan narasi sederhana: cinta dan romantisme. Di tengah kompleksitas hidup yang penuh tekanan, lirik mereka memberikan kesederhanaan yang menyegarkan.
Orang-orang yang mendengarkannya merasa diangkat dari kenyataan pahit sehari-hari, dan itu memberikan rasa keterhubungan yang lebih besar.
Namun, romantisme ini juga bisa dilihat sebagai komoditas yang dijual dengan harga yang tak ternilai. Lagu-lagu romantis laris manis di pasar karena mereka mampu mengikat perasaan manusia dalam wadah yang sangat dapat diprediksi---cinta.
Hal ini bukan sekadar refleksi emosional, tetapi produk budaya yang dikonsumsi dalam lingkup kapitalisme.
Musik Sebagai Bisnis: Viralitas dan Ekonomi Emosi
Apa yang membuat Maliq & D'essentials tiba-tiba tajir? Jawabannya adalah kapitalisasi dari emosi kolektif yang viral di media sosial. Di era modern ini, viralitas bukanlah sesuatu yang spontan; ia merupakan hasil dari strategi pemasaran digital yang cermat, di mana konten disebarkan untuk memicu resonansi emosional di kalangan audiens luas.
Inilah mengapa lagu Kita Bikin Romantis bukan hanya populer, tapi juga menjadi mesin ekonomi bagi band tersebut.
Musik, di tangan bisnis modern, telah menjadi alat monetisasi emosi. Konser, tur, merchandise, dan hak cipta adalah beberapa dari banyak aliran pendapatan yang bisa dieksploitasi dari satu karya musik.
Di sinilah musik berfungsi sebagai medium kapitalistik, di mana kesuksesan diukur berdasarkan popularitas di media sosial dan kemampuan untuk menghasilkan uang, bukan hanya pengaruh artistik atau nilai estetisnya.
Refleksi Filosofis: Musik, Kapitalisme, dan Romantisme Modern
Jika kita melihat fenomena ini dari perspektif filsafat, terutama dalam konteks kapitalisme budaya, Maliq & D'essentials dan lagu mereka adalah representasi dari apa yang disebut "ekonomi romantisme." Di era di mana segala sesuatu dapat dimonetisasi, termasuk cinta dan romantisme, musik menjadi kendaraan yang efektif untuk menjual pengalaman emosional.
Dalam dunia yang dikuasai oleh tren dan permintaan pasar, musik tak lagi menjadi sekadar ekspresi jiwa, melainkan produk yang harus sesuai dengan selera publik untuk tetap relevan.
Ini menimbulkan pertanyaan besar: Apakah kita benar-benar jatuh cinta pada musik, atau kita hanya jatuh cinta pada apa yang dijual kepada kita?
Di tengah gemuruh popularitas Kita Bikin Romantis, kita mungkin tidak hanya mendengarkan musik, tapi juga menyaksikan bagaimana emosi kita dikelola oleh tren sosial dan bisnis yang berkembang di belakangnya.
Maliq & D'essentials, yang dahulu dikenal karena kualitas musik mereka, kini harus bermain dalam lanskap yang lebih luas: lanskap kapitalisme emosional.
Maka, bisakah musik membuat kita jatuh cinta lagi?Â
Jawabannya adalah, mungkin bukan musiknya, tetapi romansa yang dijanjikan oleh tren sosial yang terus berubah---dan mungkin, di situlah letak romantisme sejati kita di era modern ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H