Dalam budaya Indonesia yang kaya akan nilai musyawarah dan gotong royong, undangan kepada semua tokoh politik ini menunjukkan bahwa meski kontestasi politik bisa sengit, budaya kita tetap menghargai kebersamaan. Perbedaan politik tak boleh merusak persatuan bangsa.Â
Seperti pepatah "bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh," pelantikan ini adalah saat di mana persatuan kembali diteguhkan meskipun sebelumnya ada perbedaan pendapat dan kepentingan.
Dari perspektif teori sosial, fenomena ini dapat dianalisis melalui konsep co-optation atau penggabungan kekuatan yang berlawanan dalam sistem politik. Anies, Ganjar, dan lawan-lawan politik lainnya mungkin tak lagi memegang kendali langsung dalam pemerintahan, tetapi dengan menghadiri pelantikan, mereka tetap menjadi bagian dari dinamika negara.Â
Teori ini menjelaskan bagaimana kekuasaan, meskipun berputar, tetap memiliki mekanisme untuk menyerap dan menghargai kontribusi dari berbagai pihak, bahkan mereka yang sempat menjadi pesaing.
Pada akhirnya, momen undangan bagi lawan politik untuk hadir dalam pelantikan presiden ini adalah lebih dari sekadar formalitas. Ia adalah refleksi mendalam tentang nilai-nilai kebersamaan, hukum, keadilan, dan kerendahan hati dalam kekuasaan. Seperti yang diajarkan dalam Islam, filsafat, dan hukum, tanggung jawab memimpin tak pernah lepas dari pengawasan moral dan sosial.Â
Bagi bangsa Indonesia, prosesi ini menjadi cermin tentang bagaimana perbedaan politik bukan alasan untuk perpecahan, tetapi justru momentum untuk menyatukan langkah menuju masa depan yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H