Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ketika Jalanan Menjadi Panggung, Refleksi dari Cosplayer yang Dikejar dan Dilegalkan?

9 Oktober 2024   16:59 Diperbarui: 9 Oktober 2024   17:40 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Apakah hiburan itu perlu disertai dengan kejar-kejaran? Mengapa sesuatu yang tampak sederhana seperti memeragakan kostum tokoh superhero atau hantu di jalan bisa memicu ketegangan antara kreativitas dan hukum? 

Pertanyaan ini membawa kita pada perenungan lebih dalam, tidak hanya dari sisi budaya dan hukum, tetapi juga dari perspektif agama dan filsafat tentang kebebasan, tanggung jawab, dan moralitas.

Perspektif Agama dan Filosofi Kebebasan

Dalam pandangan Agama, seni dan hiburan memiliki tempat selama tidak melanggar prinsip-prinsip syariat. Cosplay sebagai bentuk ekspresi seni, jika dilakukan dengan niat baik tanpa merusak nilai-nilai moral, dapat dianggap sebagai cara manusia merayakan kreativitas dan imajinasi. Namun, kebebasan berkarya harus seimbang dengan tanggung jawab sosial. Dalam hal ini, prinsip "al-amr bil ma'ruf wa nahy 'anil munkar" (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran) menegaskan bahwa tindakan yang dilakukan di ruang publik harus mempertimbangkan dampaknya terhadap ketertiban umum.

Para cosplayer yang kerap berhadapan dengan petugas karena dianggap mengganggu ketertiban publik mencerminkan adanya ketidakseimbangan dalam memahami kebebasan. Kebebasan dalam Agama tidaklah absolut, melainkan selalu terikat pada tanggung jawab kepada masyarakat dan Tuhan. Dalam konteks ini, tindakan para cosplayer yang menghibur publik sah-sah saja selama mereka tidak mengganggu hak orang lain, dan justru hal ini telah diakui oleh pemerintah melalui legalitas yang mereka peroleh.

Secara filosofis, fenomena ini bisa dianalisis melalui pandangan Jean-Paul Sartre tentang kebebasan. Sartre percaya bahwa manusia pada dasarnya bebas, tetapi kebebasan ini datang dengan beban tanggung jawab. Dalam kasus cosplayer, mereka yang awalnya menikmati kebebasan tanpa batas akhirnya harus bernegosiasi dengan hukum yang mengatur ruang publik. Sartre mungkin akan mengatakan bahwa mereka sedang mengalami keterbatasan baru dalam kebebasan mereka, tetapi ini adalah harga yang harus dibayar untuk mendapatkan ketenangan dan pengakuan sosial.

Keseimbangan Hukum dan Kreativitas

Dalam perspektif hukum, negara berperan sebagai penjaga ketertiban, dan regulasi atas aktivitas di ruang publik adalah hal yang wajar. Satpol PP dalam hal ini bertugas menegakkan aturan yang dibuat demi menjaga ketertiban umum. Namun, pengakuan legalitas bagi komunitas cosplayer menunjukkan bahwa negara juga mengakui pentingnya kebebasan berekspresi. Hukum tidak selamanya bertujuan untuk membatasi kreativitas, melainkan untuk mengaturnya agar tidak melanggar hak orang lain.

Pendekatan ini mengingatkan pada teori kontrak sosial dari Thomas Hobbes, di mana manusia menyerahkan sebagian kebebasannya kepada negara demi jaminan keamanan dan ketertiban. Para cosplayer yang kini bekerja di bawah regulasi, meski mungkin merasa terbatas, pada akhirnya mendapatkan keamanan dan stabilitas dalam berkreasi di ruang publik. Kebebasan tidak hilang, melainkan diregulasi untuk memastikan keberlanjutan harmoni sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun