Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ketika Jalanan Menjadi Panggung, Refleksi dari Cosplayer yang Dikejar dan Dilegalkan?

9 Oktober 2024   16:59 Diperbarui: 9 Oktober 2024   17:40 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Refleksi Budaya dan Identitas

Fenomena cosplay di Jalan Asia Afrika Bandung juga mencerminkan pertemuan antara budaya global dan lokal. Cosplay adalah bentuk budaya populer global yang kini mengakar dalam budaya urban di Bandung. Namun, setiap bentuk ekspresi budaya di ruang publik harus menyesuaikan diri dengan norma-norma setempat, baik yang berkaitan dengan hukum maupun budaya.

Dari sisi budaya, Bandung dikenal sebagai kota yang progresif dan terbuka terhadap berbagai bentuk kreativitas. Kehadiran para cosplayer adalah cerminan dari keragaman budaya yang diakomodasi oleh kota ini. Namun, sebagaimana semua hal dalam kehidupan publik, ada batasan yang harus dihormati. Peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah terkait cosplay mungkin bisa dilihat sebagai simbol dari benturan antara modernitas yang bebas dengan konservatisme lokal yang lebih tertib.

Penurunan Pendapatan: Perspektif Ekonomi dan Etika

Menariknya, meskipun kini telah dilegalkan, para cosplayer justru mengalami penurunan pendapatan karena regulasi yang membatasi jumlah mereka. Di sinilah muncul refleksi yang lebih dalam: apakah legalitas dan rasa aman sebanding dengan kehilangan kebebasan dan pendapatan sebelumnya?

Dalam Agama, ridha (ikhlas) dan syukur (bersyukur) adalah prinsip yang selalu ditekankan, seperti dalam Al-Qur'an, Surat Al-Baqarah ayat 286, yang menyatakan bahwa Allah tidak membebani seseorang di luar kemampuannya. Para cosplayer, meskipun pendapatan mereka berkurang, kini bisa bekerja dengan tenang dan tanpa kekhawatiran dikejar petugas. Ini adalah pelajaran bahwa kenyamanan dan stabilitas hidup sering kali datang dengan harga tertentu, dalam hal ini, kebebasan ekonomi yang lebih besar.

Dari perspektif etika bisnis, aturan yang membatasi jumlah cosplayer mungkin bertujuan baik untuk menjaga ketertiban, tetapi pada akhirnya berdampak pada dinamika ekonomi mereka. Namun, stabilitas dan pengakuan sosial yang mereka peroleh mungkin lebih bernilai dalam jangka panjang daripada pendapatan instan yang sebelumnya lebih besar.

Kesimpulan

Kisah para cosplayer di Jalan Asia Afrika Bandung adalah cerminan dari perjuangan mencari ruang ekspresi di tengah batasan hukum, budaya, dan ekonomi. Dari perspektif Agama, filsafat, dan hukum, kebebasan harus selalu diimbangi dengan tanggung jawab sosial. Para cosplayer, meskipun mengalami penurunan pendapatan, kini bekerja dalam sistem yang lebih teratur dan terlegitimasi. Mereka mungkin telah kehilangan sebagian kebebasan finansial, tetapi mereka memperoleh martabat sebagai bagian dari komunitas yang diakui dan dihormati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun