OLEH: Khoeri Abdul Muid
Apakah sebuah salam harus selalu tampak di hadapan khalayak untuk benar-benar bermakna? Atau justru, ada nilai lebih dalam penghormatan yang diberikan secara tersembunyi, jauh dari sorotan kamera?
Peristiwa yang baru-baru ini viral (CNN Indonesia, Senin, 07 Okt 2024 15:12 WIB), di mana Presiden Joko Widodo tampaknya melewatkan jabat tangan dengan mantan Wakil Presiden Try Sutrisno, seolah menjadi cerminan dari pertanyaan mendalam tentang esensi penghormatan. Apakah yang kita lihat, selalu merefleksikan kenyataan?
Dari perspektif Islam, kita diajarkan bahwa segala sesuatu bergantung pada niat. "Innamal a'malu binniyat" --- amal perbuatan itu tergantung pada niat di baliknya. Rasulullah SAW sering mengingatkan umatnya untuk tidak terpaku pada tampilan luar, melainkan menilai kedalaman hati dan keikhlasan.
Dalam hal ini, apakah jabat tangan yang tak terlihat publik menjadi kurang bernilai dibandingkan yang dilihat oleh banyak orang? Apakah penghormatan yang diberikan di ruang pribadi kurang berarti dibandingkan dengan yang dilakukan di atas panggung?
Dari sisi filsafat, Immanuel Kant berbicara tentang imperatif kategoris: tindakan yang dilakukan haruslah menjadi prinsip universal. Jika kita mengasumsikan bahwa sebuah tindakan baik hanya jika terlihat, maka apakah kita menganggap bahwa semua kebaikan dan penghormatan hanya sah ketika dipertontonkan? Kant sendiri menekankan bahwa niat di balik tindakan lebih penting daripada manifestasi eksternalnya.
Dalam konteks ini, teori sosial modern juga menarik perhatian. Sosiolog seperti Erving Goffman menyebutkan bahwa kehidupan adalah panggung besar, di mana manusia sering kali memainkan peran sesuai harapan masyarakat.
Namun, dalam kehidupan yang penuh sandiwara ini, ada dua sisi; front stage dan back stage. Apa yang dilakukan di front stage (panggung depan) sering kali hanya mencerminkan apa yang diinginkan orang lain untuk dilihat, sementara back stage (belakang panggung) adalah tempat kita menjadi lebih autentik dan pribadi. Mungkin dalam konteks ini, salam yang dilakukan oleh Jokowi di ruang VVIP adalah representasi dari keautentikan penghormatan yang tidak perlu dipertontonkan.
Sebaliknya, beberapa pihak mungkin merasa bahwa penghormatan, terutama untuk para tokoh besar bangsa, harus selalu tampak secara kasat mata untuk menegaskan rasa hormat bangsa kepada mereka. Ini selaras dengan teori-teori kehormatan sosial yang menekankan pentingnya ritual dan tanda-tanda fisik sebagai cara untuk menjaga kohesi sosial.
Namun, jika kita kembali kepada ajaran Islam, Rasulullah SAW tidak pernah mencari penghargaan atau sanjungan yang mencolok. Beliau selalu mengutamakan niat yang tulus, meski tak terlihat oleh banyak orang. Dalam Surat Al-Hujurat ayat 13, Allah SWT mengingatkan kita bahwa yang paling mulia di sisi-Nya adalah yang paling bertakwa, bukan yang paling sering dipuji oleh manusia.
Maka, dalam melihat peristiwa ini, ada baiknya kita bertanya pada diri sendiri: apakah penghormatan itu hanya nyata ketika terlihat, atau justru lebih bernilai saat dilakukan dengan ketulusan, meski tak disaksikan dunia? Dalam dunia yang semakin terobsesi pada citra, penting untuk mengingat bahwa yang tidak terlihat oleh mata manusia tetap bisa memiliki nilai yang sangat tinggi di mata Allah.
Peristiwa ini menjadi refleksi mendalam tentang bagaimana kita menilai hubungan sosial, penghormatan, dan keikhlasan. Kita sering terjebak dalam pola pikir bahwa segala sesuatu harus terlihat untuk dihargai. Padahal, dalam kesunyian dan ketulusan tersembunyi, ada nilai yang jauh lebih abadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H