Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah_Sor_Pring]. REDAKTUR penerbit buku ber-ISBN dan mitra jurnal ilmiah terakreditasi SINTA: Media Didaktik Indonesia [MDI]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Shamiri, Refleksi Kejatuhan dan Kebangkitan sang Dajjal dalam Perspektif Islam dan Filsafat

6 Oktober 2024   21:54 Diperbarui: 6 Oktober 2024   22:38 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Siapakah sebenarnya Dajjal, sosok yang begitu sering disebut dalam literatur eskatologi Islam, sebagai anti-kristus dalam bingkai sejarah akhir zaman? Apa hubungan misterius antara namanya, Shamiri, dengan kisah Musa, dan mengapa ia begitu menakutkan?

Pertanyaan ini bukan hanya mengundang rasa ingin tahu, tetapi juga membawa kita ke dalam labirin filosofi, spiritualitas, dan keyakinan yang mendalam.

Mari kita mulai dengan perspektif agama Islam. Dalam riwayat dari Ibn Majah dan beberapa hadits lain, kita menemukan cerita yang menakjubkan tentang Tamim Ad-Dari, seorang pengelana yang hidup sezaman dengan Nabi Muhammad SAW.

Meskipun ia adalah seorang Kristen, Tamim berlayar untuk mencari kebenaran dari nubuat Nabi, dan dalam perjalanan mistisnya, ia terdampar di sebuah pulau misterius. Di sanalah, ia dan rombongannya menemui sosok yang dikenal sebagai Dajjal, terpasung di sebuah biara yang telah lama ditinggalkan. Apakah ini sekadar dongeng atau cerminan realitas spiritual yang lebih dalam?

Shamiri, nama yang disebut sebagai Masikhud Dajjal, menawarkan sebuah teka-teki eksistensial. Dalam narasi ini, ia berasal dari suku Bani Israel, namun bukan dari garis keturunan Nabi Musa AS yang mulia, melainkan dari suku Shamiri---suku yang terjebak dalam kejahatan dan penyimpangan.

Shamiri adalah cerminan dari sisi gelap umat manusia, suatu simbol pengkhianatan dan penolakan terhadap kebenaran ilahi. Dengan menyebutnya "Shamiri" alih-alih Musa, kita diajak untuk memahami bahwa meskipun ia mungkin berasal dari garis keturunan yang sama dengan nabi-nabi besar, ia memilih jalan yang berlawanan---jalan kesesatan.

Dalam perspektif filsafat, kita dapat melihat Shamiri sebagai representasi dari arketipe shadow self, istilah yang diperkenalkan oleh Carl Jung. Dajjal atau Shamiri adalah sisi gelap jiwa manusia yang terabaikan, kekuatan destruktif yang muncul ketika kita mengabaikan cahaya spiritualitas dan memilih ilusi duniawi.

Jung mengajarkan bahwa setiap individu memiliki bagian bayangan dalam dirinya yang, jika tidak diintegrasikan dan dihadapi, dapat menjadi sumber kehancuran. Dalam kasus Shamiri, bayangan ini telah memanifestasikan dirinya dalam bentuk anti-kebenaran, anti-Tuhan, dan akhirnya menjadi "anti-kristus."

Namun, mengapa Shamiri terpasung? Ini adalah simbol yang sangat kuat dalam tradisi Islam. Terpasungnya Dajjal adalah perwujudan dari batasan ilahi terhadap kekuatan jahat di dunia ini. Tuhan, dalam kebijaksanaan-Nya, memberikan Dajjal kekuatan besar tetapi juga membatasinya hingga waktu tertentu.

Filosofis, ini mengajarkan kita bahwa meskipun kejahatan mungkin tampak kuat dan tak terbendung, pada akhirnya, ia dikendalikan oleh kehendak yang lebih tinggi. Dalam konteks ini, Shamiri/Dajjal adalah sebuah ujian bagi umat manusia---suatu pengingat bahwa kejahatan tidak akan menang kecuali jika kita membiarkannya merasuki hati dan pikiran kita.

Lalu bagaimana dengan perspektif teologis? 

Dalam eskatologi Islam, Dajjal dianggap sebagai penipu ulung, yang datang dengan ilusi untuk menguji keimanan manusia. Mirip dengan filsafat Platonik tentang realitas dan bayangan, Dajjal memanipulasi persepsi kita tentang kebenaran. Plato, dalam Allegory of the Cave, menggambarkan manusia yang hidup dalam ilusi, memandang bayangan di dinding gua dan menganggapnya sebagai kenyataan. 

Dajjal, dalam banyak hal, berfungsi sebagai penguasa gua ilusi ini, memproyeksikan gambaran-gambaran yang salah dan menjebak manusia dalam kesenangan duniawi, sementara mereka kehilangan cahaya kebenaran sejati.

Kisah Shamiri yang terlahir dari seorang perempuan gendut dan seorang dukun dalam sebuah kuil juga sarat dengan simbolisme spiritual. Perempuan gendut dalam tradisi mistis sering dikaitkan dengan sifat duniawi, kebendaan, dan kemewahan yang berlebihan. 

Dukun adalah lambang dari pengetahuan yang salah dan penyalahgunaan kekuatan spiritual. Shamiri lahir dari penyatuan antara dua kekuatan ini---simbol bahwa Dajjal bukan hanya representasi kejahatan eksternal, tetapi juga kejahatan yang tumbuh dari dalam diri manusia ketika ia terperosok dalam dunia materialisme dan penyimpangan spiritual.

Seiring berjalannya waktu, Shamiri menjadi lambang anti-kristus, tokoh yang berdiri menentang semua nabi, terutama Nabi Isa AS. Dalam Islam, Isa AS (Yesus) akan turun kembali di akhir zaman untuk mengalahkan Dajjal. Ini menegaskan dualitas eskatologis yang mendalam antara kebenaran dan kebohongan, antara cahaya dan kegelapan, antara Musa dan Shamiri.

Sementara Musa AS berdiri sebagai lambang pembebasan spiritual melalui iman kepada Allah, Shamiri menjadi lawannya---penjaga ilusi, penipu besar yang berusaha menjauhkan manusia dari jalan Tuhan.

Dari perspektif spiritual, Shamiri mengajarkan kita bahwa setiap jiwa memiliki potensi untuk jatuh ke dalam ilusi dan penipuan. Seperti yang diajarkan oleh filsuf Islam, Al-Ghazali, kehidupan ini adalah ujian besar, di mana manusia harus terus-menerus menjaga hati mereka dari kebohongan dan ilusi dunia. 

Shamiri adalah perwujudan ekstrem dari apa yang bisa terjadi jika kita gagal dalam ujian ini. Namun, harapan selalu ada, karena seperti yang dijanjikan dalam ajaran Islam, kebenaran akhirnya akan menang, dan Dajjal akan dikalahkan.

Pada akhirnya, kisah Shamiri atau Masikhud Dajjal bukan hanya tentang pertempuran fisik di akhir zaman, tetapi juga tentang perjuangan batin kita sehari-hari melawan ilusi dan godaan yang menjauhkan kita dari kebenaran. Shamiri berdiri sebagai pengingat bahwa kejahatan terbesar tidak selalu datang dari luar, tetapi dari dalam hati manusia yang mengabaikan cahaya ilahi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun