OLEH: Khoeri Abdul Muid
Siapakah sebenarnya Dajjal, sosok yang begitu sering disebut dalam literatur eskatologi Islam, sebagai anti-kristus dalam bingkai sejarah akhir zaman? Apa hubungan misterius antara namanya, Shamiri, dengan kisah Musa, dan mengapa ia begitu menakutkan?
Pertanyaan ini bukan hanya mengundang rasa ingin tahu, tetapi juga membawa kita ke dalam labirin filosofi, spiritualitas, dan keyakinan yang mendalam.
Mari kita mulai dengan perspektif agama Islam. Dalam riwayat dari Ibn Majah dan beberapa hadits lain, kita menemukan cerita yang menakjubkan tentang Tamim Ad-Dari, seorang pengelana yang hidup sezaman dengan Nabi Muhammad SAW.
Meskipun ia adalah seorang Kristen, Tamim berlayar untuk mencari kebenaran dari nubuat Nabi, dan dalam perjalanan mistisnya, ia terdampar di sebuah pulau misterius. Di sanalah, ia dan rombongannya menemui sosok yang dikenal sebagai Dajjal, terpasung di sebuah biara yang telah lama ditinggalkan. Apakah ini sekadar dongeng atau cerminan realitas spiritual yang lebih dalam?
Shamiri, nama yang disebut sebagai Masikhud Dajjal, menawarkan sebuah teka-teki eksistensial. Dalam narasi ini, ia berasal dari suku Bani Israel, namun bukan dari garis keturunan Nabi Musa AS yang mulia, melainkan dari suku Shamiri---suku yang terjebak dalam kejahatan dan penyimpangan.
Shamiri adalah cerminan dari sisi gelap umat manusia, suatu simbol pengkhianatan dan penolakan terhadap kebenaran ilahi. Dengan menyebutnya "Shamiri" alih-alih Musa, kita diajak untuk memahami bahwa meskipun ia mungkin berasal dari garis keturunan yang sama dengan nabi-nabi besar, ia memilih jalan yang berlawanan---jalan kesesatan.
Dalam perspektif filsafat, kita dapat melihat Shamiri sebagai representasi dari arketipe shadow self, istilah yang diperkenalkan oleh Carl Jung. Dajjal atau Shamiri adalah sisi gelap jiwa manusia yang terabaikan, kekuatan destruktif yang muncul ketika kita mengabaikan cahaya spiritualitas dan memilih ilusi duniawi.
Jung mengajarkan bahwa setiap individu memiliki bagian bayangan dalam dirinya yang, jika tidak diintegrasikan dan dihadapi, dapat menjadi sumber kehancuran. Dalam kasus Shamiri, bayangan ini telah memanifestasikan dirinya dalam bentuk anti-kebenaran, anti-Tuhan, dan akhirnya menjadi "anti-kristus."
Namun, mengapa Shamiri terpasung? Ini adalah simbol yang sangat kuat dalam tradisi Islam. Terpasungnya Dajjal adalah perwujudan dari batasan ilahi terhadap kekuatan jahat di dunia ini. Tuhan, dalam kebijaksanaan-Nya, memberikan Dajjal kekuatan besar tetapi juga membatasinya hingga waktu tertentu.
Filosofis, ini mengajarkan kita bahwa meskipun kejahatan mungkin tampak kuat dan tak terbendung, pada akhirnya, ia dikendalikan oleh kehendak yang lebih tinggi. Dalam konteks ini, Shamiri/Dajjal adalah sebuah ujian bagi umat manusia---suatu pengingat bahwa kejahatan tidak akan menang kecuali jika kita membiarkannya merasuki hati dan pikiran kita.