Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah_Sor_Pring]. REDAKTUR penerbit buku ber-ISBN dan mitra jurnal ilmiah terakreditasi SINTA: Media Didaktik Indonesia [MDI]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Janji di Bulan Oktober

6 Oktober 2024   17:40 Diperbarui: 6 Oktober 2024   19:36 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Apakah kita hanya bisa berharap pada janji yang belum ditepati?

Di ruang guru yang pengap, Bu Mira menatap kalender di meja. Bulan Oktober telah tiba. Ia tersenyum miris, mengenang pidato panjang Hisyam saat kampanye. "Guru adalah pilar bangsa! Kesejahteraan mereka adalah prioritas saya!" teriak Hisyam dengan percaya diri di atas panggung. Sorot matanya yang berapi-api dan senyum meyakinkan membuat para guru, termasuk Bu Mira, bertepuk tangan penuh antusiasme. Mereka merasa, kali ini, ada harapan. Janji Hisyam tentang kenaikan gaji dua juta per bulan yang akan mulai berlaku bulan ini begitu menggugah semangat. Bu Mira bahkan sempat bermimpi bisa membayar cicilan rumah lebih cepat, atau setidaknya menghindari pinjaman tambahan untuk kebutuhan keluarga.

Namun, saat tanggal 1 Oktober yang dinanti-nanti tiba, harapan itu segera runtuh. Tambahan gaji yang dijanjikan itu belum juga direalisasi.

"Pernah dengar kabar soal kenaikan gaji dari Hisyam itu?" tanya Pak Danu, guru senior, sambil menyeruput teh yang mulai dingin. Di sudut ruang guru, Bu Rani, yang baru tiga tahun mengabdi, tertawa getir.

"Kabar apa, Pak? Yang saya dengar cuma kabar angin," jawab Bu Rani sinis.

Suara tawa kecil lainnya bergema di sudut ruangan. Para guru yang sedang sibuk mengoreksi buku siswa tampak lelah, bukan hanya karena pekerjaan mereka, tetapi juga karena lelah berharap. Bu Mira mengangguk pelan, matanya kembali tertuju pada kalender.

"Inflasi lagi-lagi menghantam kita, kan?" tambah Bu Mira sambil melipat tangannya di dada. "Harga kebutuhan pokok naik, listrik naik, biaya sekolah anak-anak juga naik. Sementara gaji kita... ya, segitu-segitu saja."

Pak Danu mendengus dan meletakkan gelas tehnya dengan kasar. "Hisyam itu cuma pandai bicara, Bu Mira. Dia paham betul cara menyentuh hati guru, tapi kenyataannya? Kita masih di sini, mengais sisa-sisa janji yang tak pernah datang. Gaji kita tergerus inflasi. Uang yang dulu bisa dipakai untuk belanja seminggu, sekarang habis hanya untuk tiga hari."

Bu Rani mengangguk setuju. "Saya pikir, dengan gaji sekarang, hidup kami akan sedikit lebih baik. Tapi kenyataannya, meski nominalnya naik sedikit, rasanya malah semakin sulit. Harga bahan makanan makin tak terjangkau. Jika begini terus, bagaimana kita bisa fokus mengajar?"

Sejenak, ruangan itu sunyi. Hanya suara kipas angin tua yang berderit memenuhi udara. Ironis, pikir Bu Mira. Mereka yang seharusnya dihormati sebagai pilar bangsa kini hanya menjadi penonton dalam drama janji politik yang tak pernah berakhir, sementara inflasi terus menghancurkan harapan mereka.

"Saya ingat, waktu itu saya bilang ke anak saya, 'Tunggu, sebentar lagi gaji ibu naik, kita bisa beli buku baru buat kamu.' Tapi sekarang, anak saya malah tanya, 'Kapan gaji ibu benar-benar cukup buat semuanya?'" kata Bu Mira, sedikit tertawa, tetapi matanya tampak sendu.

Pak Hisyam pernah berkata, "Melihat kemampuan APBN..." Para guru saling berpandangan, mengingat janji tanpa syarat yang pernah dilontarkan Hisyam. "Waktu janji itu dibuat, kan nggak ada syarat kalau APBN mampu atau tidak," sanggah salah satu guru.

Pak Danu mengangguk. "Betul, kita ini dijanjikan, bukan diberi syarat tambahan. Kalau begitu, janjinya harus ditunaikan."

Guru lain, Bu Rina, mencoba menenangkan. "Sabar dulu, Pak. Petinggi belum dilantik. Nanti kalau sudah, janji itu pasti ditunaikan."

Pak Hisyam selalu mengatakan bahwa di keluarganya tidak ada watak berbohong. Namun, janji yang dibuatnya kini terasa semakin jauh dari kenyataan. Salah satu guru lainnya menyarankan cara lain. "Menurut saya, cara kita berjuang adalah dengan terus memviralkan video janji Hisyam. Mengingatkan orang untuk menunaikan janjinya itu juga ibadah, lho. Dalam agama, janji adalah hutang."

Beberapa guru mulai menunjukkan optimisme. "Kita harus percaya bahwa janji itu akan ditepati," ujar Bu Mira. "Mungkin hanya tinggal waktu. Paling lambat 1 Januari 2025, karena APBN 2025 sudah menjadi kewenangan petinggi baru. Kita hanya perlu bersabar sedikit lagi."

Pak Danu menepuk meja. "Ini tidak adil! Setiap kali harga naik, kita yang dikorbankan. Pemerintah tahu inflasi menghantam kita semua, tetapi apa yang mereka lakukan? Mereka mengabaikan kita, seperti biasanya."

Bu Rani tersenyum pahit. "Kita hanya bisa menunggu, Pak. Mungkin saat pemilu berikutnya, Hisyam akan datang lagi dengan janji baru, dan kita terjebak berharap sekali lagi."

Pak Danu tertawa keras. "Ah, kalau begitu, mungkin dia akan menjanjikan kita kenaikan gaji setiap tahun atau tunjangan inflasi permanen!"

Bu Mira tertawa kecil, tetapi di dalam hatinya, ia tak bisa lepas dari kenyataan bahwa janji-janji itu telah membuat mereka semua berharap. Mereka, para guru, adalah orang-orang yang hidup dengan prinsip mendidik generasi muda, tetapi ironisnya, mereka sendiri harus terus belajar dari kekecewaan politik dan dampak ekonomi yang semakin menghimpit.

Hari-hari di bulan Oktober pun berlalu. 1 Oktober, saat gajian yang ditunggu-tunggu, mulai bergerak semakin maju dan lambat laun akan segera berakhir. Dan janji Hisyam? Mungkin akan kembali menguap, seperti embun pagi yang tak pernah lama bertahan di bawah sinar matahari---sementara inflasi terus menghancurkan sisa-sisa yang ada. Namun, jauh di lubuk hati para guru, harapan itu masih selalu ada. Mereka tetap optimis bahwa suatu saat janji itu akan ditepati, asalkan tidak terlalu lama lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun