OLEH: Khoeri Abdul Muid
Mengapa Tuhan memilih segelintir manusia sebagai penyambung lidah-Nya? Apa rahasia di balik pemilihan ini, dan mengapa hanya mereka yang diizinkan mendengar bisikan sakral-Nya?
Pertanyaan ini membawa kita pada perenungan mendalam tentang hakikat wahyu, nubuwwah, dan bagaimana Tuhan berkomunikasi dengan umat manusia. Dalam tradisi agama, khususnya Islam, para nabi dianggap sebagai utusan yang dipilih untuk menyampaikan pesan-pesan ilahi. Tapi apa yang sebenarnya dimaksud dengan "nabi"? Dari mana asal-usul istilah ini, dan mengapa maknanya begitu penting dalam memahami hubungan antara Tuhan dan manusia?
Kata "nabi" yang kita temui dalam bahasa Arab secara harfiah berarti "penerima berita". Namun, di balik makna harfiahnya, ada lapisan sejarah dan etimologi yang memperkaya pengertian kita tentang istilah ini. Sejarawan bahasa berpendapat bahwa istilah "nabi" tidak sepenuhnya asli dari bahasa Arab. Sebaliknya, kata tersebut diduga merupakan deformasi dari kata nevi, istilah dalam bahasa Ibrani kuno yang berarti "nabi" atau "penerima wahyu." Pengaruh ini diyakini datang dari bangsa Yahudi Palestina, yang melarikan diri dari pengejaran tentara Romawi setelah kehancuran Bait Suci Yerusalem pada tahun 70 M. Melalui interaksi budaya dan sejarah, kata nevi diserap oleh penutur bahasa Arab dan menjadi istilah "nabi" yang kita kenal sekarang.
Namun, makna nabi lebih dari sekadar penerima berita. Dalam tradisi Israel kuno, kata nevi memiliki konotasi yang mendalam, jauh melampaui makna harfiahnya. Para nevi'im atau nabi dalam konteks ini bukan hanya penerima wahyu, tetapi juga pria-pria terpilih yang dipilih Tuhan untuk menjadi juru bicara-Nya di tengah-tengah Bani Israel. Mereka adalah sosok-sosok yang dipanggil untuk menyampaikan pesan Tuhan kepada bangsa yang dikhususkan, yaitu Israel, dalam konteks geografis dan historis Palestina pada masa lampau.
Mengapa Tuhan memilih nabi? Apa yang membuat seseorang layak untuk menjadi juru bicara ilahi? Ini adalah pertanyaan yang membangkitkan diskusi mendalam dalam filsafat dan teologi. Dalam pandangan filsafat Islam, seperti yang dijelaskan oleh Al-Farabi dan Ibn Sina, nabi dipandang sebagai manusia yang memiliki kemampuan intelektual dan spiritual yang melampaui individu biasa. Mereka dianggap memiliki akal mustafad---akal yang telah menyatu dengan akal aktif, sehingga memungkinkan mereka menerima wahyu dari Tuhan. Menurut filsafat ini, nabi bukan hanya individu yang dipilih secara acak, melainkan seseorang yang telah mencapai tingkat kesempurnaan tertentu yang memungkinkan mereka menjadi penghubung antara alam materi dan alam ilahi.
Namun, dalam perspektif teologi Islam, pemilihan nabi juga merupakan rahasia Tuhan. Allah memilih nabi bukan semata-mata karena keunggulan intelektual atau spiritual mereka, tetapi karena kehendak-Nya yang tak terbatas. Firman Allah dalam Al-Qur'an: "Allah memilih utusan dari malaikat dan dari manusia." (QS. Al-Hajj: 75). Ini menegaskan bahwa pemilihan nabi adalah hak prerogatif Tuhan, dan bukan sesuatu yang bisa dicapai atau diraih oleh manusia melalui usaha pribadi semata.
Nabi adalah sosok pilihan, penerima amanah terbesar, yaitu menjadi perantara komunikasi antara Tuhan dan umat manusia. Namun, meskipun para nabi memiliki peran yang sangat istimewa, mereka tetaplah manusia, dengan segala keterbatasannya. Mereka bukan makhluk ilahi, tetapi manusia yang dipilih untuk menjalankan misi ilahi. Dalam hal ini, kita melihat paradoks yang mendalam. Di satu sisi, nabi adalah manusia biasa, terikat oleh hukum-hukum fisik dan biologis seperti manusia lainnya. Di sisi lain, mereka dipilih untuk menerima wahyu langsung dari Tuhan, sebuah kehormatan yang tidak diberikan kepada sembarang orang.
Pemilihan nabi juga membawa tanggung jawab yang besar. Dalam filsafat moral, Immanuel Kant mengajarkan bahwa tindakan moral harus didasarkan pada prinsip-prinsip universal yang bisa diterima oleh akal. Namun, para nabi tidak hanya dibimbing oleh akal, tetapi juga oleh wahyu yang melampaui pemahaman rasional manusia biasa. Mereka dihadapkan pada tantangan besar: bagaimana menyampaikan pesan-pesan ilahi yang mungkin sulit dipahami oleh akal manusia yang terbatas?
Nabi bukan hanya penerima berita; mereka adalah agen perubahan. Mereka membawa pesan yang menantang norma-norma sosial, politik, dan spiritual masyarakat pada zamannya. Mereka tidak hanya menyampaikan wahyu, tetapi juga menuntut perubahan radikal dalam cara manusia berinteraksi dengan Tuhan, dengan sesama, dan dengan alam semesta. Seperti yang kita lihat dalam sejarah para nabi, dari Musa hingga Muhammad, mereka adalah sosok-sosok yang sering kali menghadapi perlawanan keras dari masyarakat yang tidak siap menerima kebenaran yang mereka bawa.