OLEH: Khoeri Abdul Muid
Di tengah keriuhan kampus, saya selalu menemukan keindahan dalam setiap detiknya. Segala sesuatu tampak berjalan tanpa pola yang pasti---jadwal yang tiba-tiba zigzag, diskusi yang tak terduga, atau perubahan rencana yang serba cepat. Namun, di balik semua itu, ada sesuatu yang lebih mendalam yang menggerakkan roda kehidupan ini. Dalam pandangan agama, khususnya Islam, segala yang terjadi, baik itu kelancaran atau kerumitan, adalah bagian dari qada' dan qadar Allah. Segala perubahan yang tampak acak bagi kita sebenarnya adalah bagian dari rencana-Nya yang lebih besar, yang sering kali tak kita pahami saat itu juga. Kesibukan hari-hari di kampus ini mengingatkan saya bahwa hidup ini bukan soal menemukan stabilitas, melainkan bagaimana kita mengarungi ketidakpastian dengan tawakkal dan syukur.
Ilmu dan Pertemuan sebagai Jembatan
Pagi itu, saya menghadiri presentasi riset di Kedai Pragola bersama Prof. Jaduk dan Mbak Doktor Iis Dahlia, berbicara di depan para kepala sekolah dan guru SMP serta SMA se-Kabupaten Pati. Setiap kata yang diucapkan, setiap ide yang disampaikan, terasa seperti bagian dari pencarian kebenaran yang lebih besar. Dalam filsafat Yunani kuno, Socrates pernah berkata bahwa "pengetahuan sejati adalah mengetahui bahwa kita tidak tahu apa-apa." Di setiap pertemuan ini, saya diingatkan akan keterbatasan pengetahuan kita sebagai manusia. Betapa luasnya dunia ide dan pemahaman yang harus terus kita kejar, dan betapa pentingnya kolaborasi---seperti yang terjadi hari itu---untuk saling berbagi pengetahuan dan memperkaya satu sama lain.
Di sisi lain, ajaran agama juga menekankan pentingnya ilmu pengetahuan. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, "Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina." Artinya, mencari ilmu adalah kewajiban yang tidak mengenal batas geografis atau intelektual. Setiap momen di kampus, baik di ruang diskusi atau di depan para praktisi pendidikan, adalah bagian dari jihad ilmiah yang harus kita tekuni.
Sederhana Tapi Bermakna: Makan Siang dan Percakapan
Setelah sesi presentasi, saya bergabung dengan para profesor---bapak-bapak dari Setiaimafa, Unemka, dan Unsyafin---untuk makan siang bersama. Dalam suasana santai itu, kami berbagi cerita tentang kehidupan, tentang mahasiswa, tentang perkembangan riset, dan tentu saja tentang perjalanan pribadi yang tak terlepas dari tawa dan refleksi. Saat berbincang dengan himpunan mahasiswa civic-hukum (Himacihu), saya merenungi sebuah teori dari filsuf eksistensialis Jean-Paul Sartre yang menekankan bahwa "manusia diciptakan bebas, namun tanggung jawab atas kebebasan itu menuntut kesadaran penuh." Percakapan santai itu mungkin terlihat sederhana, tetapi di dalamnya terkandung kebebasan berpikir, kebebasan untuk berbagi, dan kebebasan untuk mengkritisi. Ada ruang di mana ide-ide saling bertemu dan bertumbuh, membentuk kerangka berpikir baru yang tidak kita sadari saat itu, tetapi akan berdampak pada cara kita menjalani kehidupan di kemudian hari.
Sore yang Tenang: Momen Kontemplasi
Menjelang sore, saya berjalan-jalan, mencari ketenangan di tengah kesibukan. Singgah di caf untuk menikmati wedang selendang biru dari @boulevardcafeunsyafin, saya menyadari bahwa kesederhanaan secangkir minuman hangat bisa menjadi jembatan untuk merenung lebih dalam tentang makna kehidupan. Dalam tradisi filsafat Timur, khususnya Zen, ada konsep "kesadaran penuh" (mindfulness) yang mengajarkan kita untuk hadir sepenuhnya di momen kini, tanpa terjebak oleh beban masa lalu atau kecemasan akan masa depan. Secangkir wedang hangat itu menjadi pengingat bagi saya bahwa ketenangan tidak selalu datang dari tempat yang besar atau pencapaian yang spektakuler, tetapi dari kesediaan kita untuk hadir dalam momen kecil dan sederhana.
Sebagaimana dalam ajaran Islam, "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya" (QS. Al-Baqarah: 286). Setiap kesibukan, setiap kegiatan yang melelahkan, adalah bagian dari cara Allah mengukur kapasitas kita, menguji kita dalam perjalanan hidup ini. Namun, Dia juga memberi kita momen-momen istirahat---baik fisik maupun batin---untuk mengingat bahwa dunia ini hanya sementara, dan segala yang kita lakukan di sini adalah persiapan untuk kehidupan yang abadi.
Penutup: Harmoni dalam Ketidaksempurnaan
Hari itu di kampus adalah refleksi dari kehidupan itu sendiri---keriuhan, kesibukan, percakapan, dan keheningan. Di balik segala ketidakteraturan yang tampak, ada harmoni yang lebih dalam yang mengatur semuanya. Dalam filsafat eksistensialisme, Heidegger berbicara tentang "Sein" atau "Being" sebagai esensi keberadaan yang hanya bisa kita pahami dalam keseharian yang kita jalani. Begitu juga dalam ajaran agama, kehidupan sehari-hari---meski tampak rumit atau zigzag---adalah panggung di mana kita memainkan peran yang telah ditakdirkan, di mana kita menemukan makna dari setiap langkah yang kita ambil.
Pada akhirnya, setiap kegiatan di hari itu---dari presentasi, pertemuan, hingga momen reflektif sore hari---adalah bagian dari perjalanan yang lebih besar. Kita belajar, berbagi, tertawa, dan merenung, menyadari bahwa dalam setiap langkah, kita mendekatkan diri bukan hanya kepada pengetahuan, tetapi juga kepada makna kehidupan itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H