OLEH: Khoeri Abdul Muid
Apa sebenarnya makna pertemanan di era digital? Apakah persahabatan yang kita bangun di dunia maya memiliki kedalaman dan ketulusan yang sama seperti di dunia nyata? Pertanyaan ini semakin relevan dengan kehadiran platform seperti Kompasiana, blog komunitas yang menggabungkan fitur interaksi sosial dengan ruang diskusi publik.Â
Kompasiana tidak hanya menjadi tempat berbagi tulisan dan ide, tetapi juga menawarkan ruang kompetisi melalui fitur seperti "Penulis Populer", "Artikel Populer", dan sebagainya. Dalam konteks ini, bagaimana kita sebaiknya memahami pertemanan di tengah persaingan yang ada?
Serupa dengan di Kompasiana, pada platform media sosial lainnya, seperti Facebook dan Twitter, konsep "teman" juga telah menjadi sesuatu yang umum. Namun, pertanyaan besarnya adalah: apa yang sebenarnya terjalin di balik pertemanan digital ini? Apakah ia didasari oleh niat tulus atau hanya sebatas pengakuan instan?
Pertemanan di Kompasiana: Antara Dukungan dan Kompetisi
Di Kompasiana, pertemanan tampak sebagai cara untuk membangun jaringan, mendukung karya sesama penulis, dan meraih pengakuan. Namun, dengan adanya elemen kompetisi, seperti popularitas, peringkat dan lain sebagainya tersebut, hubungan pertemanan dapat berubah menjadi alat untuk mencapai tujuan pribadi. Di sinilah muncul tantangan besar: bagaimana menjaga ketulusan dalam pertemanan di tengah kompetisi yang ketat?
Kompetisi dalam dunia nyata sering kali dapat menguji batas persahabatan. Begitu pula di dunia maya, di Kompasiana, kita dihadapkan pada dilema: apakah kita berteman untuk mendukung, atau justru demi memperkuat posisi kita dalam persaingan?
Pertemanan sebagai Cerminan Kehidupan
Dalam dunia nyata, pertemanan sering diukur melalui kejujuran, dukungan, dan kritik membangun. Di platform maya seperti Kompasiana, prinsip yang sama seharusnya berlaku. Namun, elemen kompetitif dapat menciptakan godaan untuk menggunakan pertemanan sebagai alat meraih popularitas atau validasi diri. Hal ini berbeda dari pertemanan yang kita alami sehari-hari, yang umumnya lebih mendalam dan tulus.
Dalam ajaran Islam, pertemanan yang sejati adalah yang dibangun atas dasar ikhlas dan saling mendukung. Rasulullah SAW mengajarkan bahwa teman sejati adalah mereka yang mengingatkan kita akan kebaikan dan membantu dalam masa-masa sulit. Jika pertemanan di Kompasiana dilihat dari perspektif ini, pertanyaannya adalah: apakah kita berteman demi persaingan atau benar-benar saling mendukung dalam proses kreatif?
Perspektif Filsafat tentang Pertemanan dan Kompetisi
Secara filsafat, pertemanan adalah interaksi yang melibatkan pengakuan atas eksistensi satu sama lain sebagai individu yang unik. Filsuf eksistensialis Jean-Paul Sartre berpendapat bahwa manusia sering kali memanfaatkan atau mengobjektifikasi satu sama lain dalam hubungan.Â
Dalam konteks Kompasiana, hal ini bisa terjadi ketika pertemanan dimanfaatkan untuk mengumpulkan penilaian atau like, alih-alih mengedepankan ketulusan.
Namun, Aristoteles menawarkan pandangan yang lebih optimis. Menurutnya, pertemanan yang tertinggi adalah yang didasarkan pada kebaikan. Ini berarti bahwa pertemanan di Kompasiana bisa menjadi sarana saling mendukung dalam mencapai kebajikan---seperti mendorong kreativitas dan memberikan kritik membangun---daripada sekadar mencari pengakuan.
Relasi Digital dan Kedalaman Pertemanan
Dalam teori sosial kontemporer, seperti konsep Network Society yang dikemukakan oleh Manuel Castells, interaksi digital sering kali lebih dangkal dibandingkan dengan hubungan di dunia nyata.Â
Komunikasi cepat dan impersonal menciptakan ilusi kedekatan tanpa keterlibatan emosional yang mendalam. Di Kompasiana, hal ini tercermin dalam interaksi berupa komentar, like, dan fitur pertemanan yang lebih cenderung superfisial.
Namun, Kompasiana juga menawarkan peluang unik untuk memperdalam hubungan jika kita mengelola interaksi dengan bijak. Ketika pertemanan digunakan untuk saling mendukung dalam proses kreatif dan berbagi ide, platform ini dapat menjadi ruang di mana solidaritas berbasis karya benar-benar tumbuh. Di sinilah pertemanan bisa menjadi lebih dari sekadar angka popularitas, melainkan suatu jaringan yang mendorong kolaborasi sejati.
Kompetisi atau Kolaborasi?
Pada akhirnya, kita dihadapkan pada pilihan: berteman untuk bersaing atau berkolaborasi? Dalam konteks Kompasiana, di mana tulisan kita berkompetisi untuk menjadi yang paling populer, kita perlu bertanya: apakah kita berteman demi keuntungan pribadi atau untuk mendukung sesama penulis? Kompetisi bukanlah sesuatu yang buruk, asalkan dilihat sebagai peluang untuk saling memotivasi, bukan untuk menjatuhkan.
Seperti yang dinyanyikan oleh Bang Rhoma Irama, "Mencari teman memang mudah untuk bersenang-senang, namun sulit untuk membantu memecahkan masalah." Ini relevan di Kompasiana: apakah kita hanya hadir saat teman meraih sukses, atau juga ketika mereka membutuhkan dukungan?
Kesimpulan: Refleksi Makna Pertemanan di Era Digital
Di era digital yang didominasi oleh interaksi cepat dan pencarian validasi instan, makna pertemanan sering kali tereduksi menjadi sekadar angka atau pengakuan sosial. Kompasiana, dengan fitur-fitur kompetitifnya, mendorong kita untuk merefleksikan kembali makna pertemanan. Apakah kita menjalin pertemanan di platform ini demi popularitas, atau benar-benar untuk saling mendukung dalam proses berkarya?
Dalam perspektif agama, filsafat, dan teori sosial, pertemanan yang sejati adalah tentang ketulusan, dukungan, dan kerja sama. Kompasiana memberi kita kesempatan untuk memilih: apakah pertemanan hanyalah alat untuk meraih popularitas, atau fondasi untuk membangun komunitas yang saling menguatkan? Pertanyaan ini tidak hanya penting di Kompasiana, tetapi juga di seluruh ruang digital di mana kita menjalin hubungan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H