OLEH: Khoeri Abdul Muid
Di tengah dinamika dunia yang terus berubah, muncul pertanyaan menarik: Apakah alat masak bisa menjadi alat musik?Â
Dalam fenomena kitchen band, yang memadukan alat-alat dapur dengan seni musik, kita menemukan jendela ke dalam kreativitas anak-anak di Pesta Siaga Pramuka. Sebuah kegiatan yang tidak hanya menghadirkan hiburan, tetapi juga menyentuh esensi pembelajaran dan perkembangan karakter.
Pesta Siaga adalah ajang kompetisi tahunan yang diadakan oleh Kepanduan Indonesia Pramuka (Praja Muda Karana) untuk anak-anak berusia 7 hingga 10 tahun. Di sinilah, di antara sorak-sorai dan kegembiraan, terdapat benang merah yang menghubungkan Dwi Satya dan Dwi Darma---dua Kode Kehormatan Pramuka Siaga.Â
Dalam Dwi Satya, kita diingatkan akan tanggung jawab kita kepada Tuhan dan negara, serta kewajiban untuk berbuat kebajikan setiap hari. Sementara Dwi Darma mengajarkan nilai-nilai berbakti kepada orang tua dan sikap berani dalam menghadapi tantangan.
Dari sudut pandang agama, kita diingatkan bahwa menciptakan dan menikmati seni merupakan bentuk syukur atas anugerah Tuhan. Dalam tradisi banyak agama, seni dan musik dianggap sebagai medium untuk menyampaikan puji-pujian, harapan, dan refleksi jiwa. Kitchen band menjadi simbol dari kreativitas yang berkembang di tengah kesederhanaan, mengingatkan kita bahwa keindahan bisa ditemukan di mana saja---bahkan di dapur yang dianggap biasa.
Filsafat, terutama dalam pemikiran John Dewey tentang pendidikan sebagai pengalaman, menekankan pentingnya pengalaman langsung dalam pembelajaran. Kitchen band mengajak anak-anak untuk terlibat secara aktif dalam menciptakan seni, menggabungkan imajinasi dan inovasi. Namun, muncul pertanyaan yang menggelisahkan: Mengapa alat masak baru yang digunakan, seringkali mengalami kerusakan? Apakah kita tidak menginginkan agar anak-anak berbakti kepada orang tua dengan merusak alat-alat vital mereka? Di sinilah kita membutuhkan pendekatan yang lebih reflektif.
Regulasi kompetisi harus diperbaiki; penggunaan alat masak bekas atau rongsokan seharusnya diutamakan. Ini tidak hanya mengajarkan kreativitas dalam memanfaatkan barang yang sudah tidak terpakai, tetapi juga mengurangi pemborosan sumber daya dan menghormati nilai-nilai keberlanjutan.Â
Dalam konteks ini, kita menggali prinsip teori kreativitas yang menekankan pentingnya inovasi dan kemampuan untuk menemukan solusi alternatif. Dengan demikian, para Siaga akan belajar tidak hanya untuk menciptakan musik, tetapi juga untuk menghargai apa yang mereka miliki.
Lebih jauh lagi, perubahan dalam regulasi ini dapat membebaskan para Pembina Siaga dari stigma sebagai penggerak budaya destruktif. Ini adalah langkah penting dalam membangun fondasi moral anak-anak. Usia Siaga adalah masa yang strategis dalam perkembangan mental, di mana mereka menyerap nilai-nilai yang akan membentuk karakter mereka di masa depan.
Kita harus memberi apresiasi pada kreativitas anak-anak yang terlibat dalam kitchen band. Namun, kita juga perlu memastikan bahwa kreativitas itu terarah dan mendidik. Sebagai pendidik dan pembina, tanggung jawab kita adalah menciptakan lingkungan yang tidak hanya menyenangkan, tetapi juga memperkuat karakter dan rasa tanggung jawab anak-anak terhadap barang dan orang-orang di sekitar mereka.
Dengan harapan ke depan, mari kita ciptakan kegiatan yang bermanfaat, mendidik, dan menyenangkan---sebuah simfoni yang harmonis antara kreativitas, moralitas, dan rasa hormat terhadap lingkungan. Dengan begitu, kita tidak hanya mencetak musisi cilik, tetapi juga generasi yang lebih baik dan bertanggung jawab, siap menghadapi tantangan masa depan dengan semangat kebersamaan dan cinta tanah air.
Dengan semangat tersebut, kita lanjutkan langkah kita menuju masa depan yang cerah, di mana kreativitas dan moralitas berjalan beriringan. Salam!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H