OLEH: Khoeri Abdul Muid
Apakah kita masih bisa menyebut olahraga sebagai sarana kebugaran jiwa dan raga ketika ia telah berubah menjadi panggung besar kapitalisme? Apakah kita, dalam euforia kemenangan tim nasional, tanpa sadar sedang merayakan sebuah mesin bisnis yang memeras gairah kita untuk kepentingan segelintir orang?
Di sebuah bekas gudang KUD yang tak lagi terpakai, di dekat rumah baru saya, warung-warung kecil dibangun, dilengkapi dengan TV untuk menonton bersama.
Di tempat ini, beberapa hari lalu, saya menyaksikan masyarakat setempat bersemangat menonton semifinal AFF antara Indonesia dan Vietnam.Â
Suara sorak-sorai menggema, kebahagiaan merekah. Kita kembali merayakan kemenangan, sejenak melupakan kekalahan yang kita alami sebelumnya. Namun, di balik kegembiraan itu, saya mulai bertanya: apa yang sebenarnya kita rayakan?
Olahraga, yang pada hakikatnya adalah sarana untuk menjaga kesehatan fisik dan mental, kini telah berubah menjadi entitas yang jauh lebih kompleks dan penuh kontradiksi.
Di satu sisi, kita melihat semangat sportivitas, integrasi sosial, dan nasionalisme. Namun, di sisi lain, olahraga kian hari makin dipenuhi oleh efek karambol dari hegemoni bisnis yang mengaburkan makna sejatinya.
Kapitalisasi Olahraga: Lebih dari Sekadar Hiburan
Islam memandang olahraga sebagai aktivitas yang baik, selama ia membawa manfaat bagi tubuh dan jiwa. Rasulullah SAW mendorong umatnya untuk menjaga kesehatan melalui kegiatan fisik, seperti berlari, berkuda, dan memanah.
Namun, dalam pandangan filosofis, setiap kegiatan yang awalnya baik bisa berubah arah jika tidak dijaga niat dan tujuannya. Olahraga, yang semula dimaksudkan untuk kebugaran, kini menjadi alat kapitalisme yang mempromosikan konsumerisme dan individualisme.