Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Malam Tanpa Cahaya

25 September 2024   13:41 Diperbarui: 25 September 2024   13:43 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pranata mangsa (Foto: Reuters)

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Malam itu gelap gulita. Listrik di seluruh desa mati total. Suara kipas angin yang biasanya berputar dengan lembut kini hilang, digantikan dengan derik jangkrik yang bersahut-sahutan. Angin malam yang biasanya tak terasa karena udara pengap kini menggelitik kulit, menyelinap masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka. Di dalam rumah kecil, suasana berubah menjadi penuh keluhan.

"Mbak! Listrik mati, aku nggak bisa nonton sinetron," gerutu Rani, anak tiriku, dengan wajah kesal sambil memukul-mukul bantal di kursinya.

Sementara itu, suamiku, Pak Harun, tampak gelisah. Ia baru saja pulang dari bekerja di ladang dan belum sempat menikmati acara televisi kesayangannya. "Aduh, kenapa juga mati listrik di saat begini?" desahnya.

Aku menghela napas panjang, menatap mereka dengan perasaan campur aduk. Ada kemarahan, tapi juga kesedihan. Listrik mati, dan seolah semua kebahagiaan di rumah ini ikut padam. Rani tidak bisa menonton sinetron, Pak Harun tak bisa menikmati waktu luangnya, dan aku? Aku hanya bisa memandangi gelap yang semakin pekat.

Namun, di tengah kekesalan mereka, aku mendapati keheningan ini seperti undangan yang sulit dijelaskan. Ada sesuatu yang menenangkan dalam gelap, suara jangkrik, dan cahaya rembulan yang samar-samar menyusup dari balik awan.

"Apa nggak capek terus mengeluh soal listrik? Kenapa kita nggak coba menikmati malam ini tanpa lampu?" usulku sambil mendekati jendela, membuka lebih lebar.

Rani melotot tak percaya, "Maksud Mbak apa? Menikmati kegelapan?"

"Ya. Lihatlah di luar. Bukankah langit malam sangat indah kalau kita benar-benar melihatnya?" Aku tersenyum kecil, mengisyaratkan mereka untuk keluar rumah.

Pak Harun memandangku dengan ragu, sementara Rani langsung mengerucutkan bibir. "Aku nggak mau, gelap dan serem!"

"Jangan takut sama kegelapan, Nak. Justru dalam gelap, ada hal-hal yang tak pernah kita sadari saat dunia terlalu sibuk dengan cahaya lampu," jawabku tenang.

Meskipun dengan enggan, akhirnya mereka mengikuti. Kami bertiga melangkah ke halaman depan rumah, menghirup udara malam yang segar. Di luar, desa begitu sunyi, hanya suara serangga yang menjadi pengiring malam. Tiba-tiba, suasana terasa begitu berbeda.

"Dengarkan," kataku lembut. "Tidakkah kalian mendengar nyanyian jangkrik, gangsir, dan suara-suara yang biasanya tertelan oleh deru kehidupan sehari-hari?"

Pak Harun tampak terkejut, matanya menyapu langit malam. Rani mulai menatap langit, meski awalnya terlihat tak tertarik. Tanpa lampu yang menyilaukan, kami bisa melihat bintang-bintang berkelap-kelip dengan begitu jelas.

"Apa itu, Mbak? Bintang yang besar dan terang?" tanya Rani sambil menunjuk langit.

"Itu Lintang Johar," jawabku lembut. "Dan yang sana itu, lihat! Bima Sakti, seperti seorang pahlawan yang menghunus pedang, melawan naga raksasa yang melilit langit."

Mata Rani melebar. "Aku baru tahu kalau di langit bisa ada cerita seperti itu."

Pak Harun tersenyum kecil. "Waktu aku masih kecil, bapakku sering cerita tentang banyaknya bintang-bintang yang punya nama dan legenda sendiri. Sekarang, aku malah hampir lupa karena setiap malam cuma nonton televisi."

Aku merasa sesuatu bergeser dalam hati. "Terlalu lama kita terbuai oleh cahaya buatan," kataku sambil menatap langit yang kian mempesona. "Lampu-lampu kota, sinetron, semuanya membuat kita lupa akan keindahan yang sesungguhnya---langit yang penuh cerita dan rahasia."

Malam semakin larut, tapi kami tetap berdiri di halaman, menatap cakrawala yang terbentang luas. Bintang-bintang seperti berbicara, menceritakan dongeng-dongeng lama yang hampir terlupakan. Kami diam, membiarkan setiap kilau bintang dan hembusan angin membawa rasa damai yang jarang kami rasakan.

Dalam diam, aku menyadari sesuatu. Listrik yang mati malam ini bukanlah sebuah kutukan, melainkan berkah. Ini adalah kesempatan bagi kami untuk berhenti sejenak dari rutinitas yang menyilaukan, dan kembali menyadari apa yang benar-benar penting. Keluargaku, alam di sekitar kami, dan langit yang luas ini---semua ada untuk dinikmati, jika kita mau menengadah dan meluangkan waktu.

Malam itu, tanpa cahaya listrik, kami menemukan kembali cahaya lain---cahaya yang datang dari keheningan, dari kebersamaan, dan dari langit yang penuh cerita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun