Bayu menutup matanya. Ia mencoba mengingat setiap kali dirinya dikuasai amarah. Pertengkarannya dengan sahabat, kebenciannya pada keluarganya, dan rasa dendam yang terus dipendam. Namun, semakin ia melihat semua itu, semakin ia sadar, bukan dunia yang salah---dirinyalah yang selama ini terjebak dalam perang batin yang tak berujung.
Malam semakin larut, tetapi di dalam diri Bayu, pertempuran terbesar baru saja dimulai. Ia berjuang antara dua pilihan: tetap tenggelam dalam kebenciannya atau mencoba melawan amarah yang telah merasuki hidupnya selama bertahun-tahun.
"Aku tak bisa," bisiknya. "Ini terlalu sulit..."
Namun, suara itu tetap ada.
"Ngudia meneb dimen bening. Sinaua kanggo ening..."
Bayu membuka matanya. Ada sesuatu yang berubah di dalam dirinya. Amarah yang tadinya terasa membara mulai sirna, digantikan oleh keinginan untuk mencari ketenangan. Seakan suaranya sendiri berkata bahwa hanya dengan mengendalikan emosi, dia bisa memahami arti hidup yang sesungguhnya.
Ia duduk kembali, kali ini tidak dengan kepala penuh gejolak, tetapi dengan niat untuk berdiam. Untuk pertama kalinya, Bayu merasakan apa yang disebut kakeknya sebagai Sinau Ening---belajar menemukan ketenangan di tengah badai. Sebuah pelajaran hidup yang tidak akan diajarkan oleh siapapun kecuali dirinya sendiri.
Waktu berlalu, dan dalam keheningan itu, Bayu mulai menyadari bahwa kemarahan, dendam, dan ketidakpuasan hanyalah bayangan yang dia ciptakan sendiri. Dunia tidak pernah berniat menyakitinya. Dia yang selama ini menuding orang lain, mencari kesalahan di luar, tanpa pernah menatap ke dalam.
Dengan napas yang lebih tenang, Bayu akhirnya mengerti. Tidak ada yang bisa merenggut kebahagiaan sejati kecuali dirinya sendiri. Tidak ada yang bisa memenjarakan pikirannya kecuali pilihannya untuk tetap hidup dalam amarah.
Ia menatap ke arah jendela yang menghadap ke langit malam. Bintang-bintang terlihat lebih terang dari sebelumnya. Mungkin bukan karena bintang itu lebih cerah, tetapi karena untuk pertama kalinya, Bayu melihatnya dengan hati yang lebih tenang.
"Dadia wicaksana, ngipuk thukule 'rasa rumangsa'..."