Sari terkejut. Jantungnya seakan berhenti. "Tahu apa?" bisiknya, suaranya gemetar.
"Aku tahu tentang pesan-pesan itu," kata Bima dengan suara lembut namun tegas. "Tapi aku juga tahu bahwa kamu menyesalinya. Aku memilihmu bukan karena kamu sempurna, tapi karena aku percaya padamu. Kita semua pernah tersesat, tapi kita selalu punya pilihan untuk kembali."
Air mata Sari semakin deras mengalir. Di hadapannya, berdiri seorang pria yang tidak hanya mencintainya, tapi juga mampu memaafkan kesalahan kecil yang selama ini menghantui pikirannya. "Bima, aku...," suaranya tersendat.
"Sst...," Bima menaruh jarinya di bibirnya. "Sudah cukup. Hari ini, kita mulai dari awal. Bersama."
Sari merasakan beban di pundaknya terangkat. Meskipun dirinya merasa belum sepenuhnya suci, Bima telah memberinya kesempatan untuk memperbaiki dirinya, untuk menjadi lebih baik. Sari tersenyum di antara air matanya. Kini, dia tahu bahwa setia bukanlah tentang tidak pernah berbuat salah, melainkan tentang kemauan untuk selalu kembali pada yang benar, meski tersesat.
Di tengah ribuan mata yang menatap mereka, Sari dan Bima saling memegang tangan, mengukir janji setia yang lebih dalam dari sekadar ucapan. Itu adalah janji untuk saling memperbaiki, saling menerima, dan saling menguatkan, apa pun yang terjadi.
Mungkin Sari bukanlah perawan suci yang sempurna, tapi hari ini, dia siap untuk menjadi istri yang setia---dalam arti yang sesungguhnya. Bukan hanya dalam tubuh, tapi juga hati dan pikiran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H