OLEH: Khoeri Abdul Muid
Di dalam kamar pengantin yang dipenuhi aroma bunga melati, Sari duduk termenung di depan cermin besar yang memantulkan bayangannya. Gaun pengantin putih yang indah membalut tubuhnya, menambah kesan suci yang diinginkan oleh semua orang. Tapi di balik keindahan itu, pikirannya bagaikan medan perang. Pertanyaan-pertanyaan mengguncang hatinya, menohok rasa percaya dirinya. Apakah dirinya layak disebut "perawan suci"?
Sejenak, bayangan masa lalu berkelebat di kepalanya. Ia ingat saat-saat di mana cintanya diuji oleh banyak lelaki yang mencoba merenggut kesetiaannya. Lelaki-lelaki itu hadir dengan segala bentuk janji manis, namun semuanya palsu. Ia berhasil menolak mereka, tapi bekas luka yang ditinggalkan di hatinya tak bisa hilang begitu saja.
Dan kini, di hari pernikahannya dengan Bima, seorang pria yang dipuji sebagai kesatria jujur, putra seorang bangsawan, Sari merasa terjebak dalam ketakutan yang lebih besar. Apakah dia benar-benar layak menjadi pengantin dari pria sebaik Bima? Apakah ia mampu menjadi istri yang setia, seperti yang dituntut dari dirinya? Setia itu bukan hanya soal tubuh, tetapi hati dan pikiran.
"Apa aku memiliki kesetiaan sejati?" pikirnya. "Atau aku hanya Khawa versi modern yang mudah terpesona oleh tipu daya dunia?" Dalam batinnya, Sari berjuang melawan rasa ragu yang terus menggerogoti.
Bima adalah pria yang baik, tidak diragukan lagi. Tapi ada satu rahasia yang Sari pendam, rahasia yang hanya dia dan Tuhan yang tahu. Ada satu momen dalam hidupnya, satu momen singkat namun penuh dosa, ketika ia membiarkan hatinya terjebak dalam rayuan orang lain, meski tak pernah berlanjut secara fisik. Hanya sekadar pesan-pesan yang ditukar, senyum-senyum yang diberikan, tapi bagi Sari, itu sudah cukup membuatnya merasa hina. "Apa itu sudah cukup membuatku tidak pantas?" pikirnya, air matanya mulai menetes. Apakah Bima akan tetap mencintainya jika tahu tentang pengkhianatan kecil ini?
Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka, dan seorang wanita paruh baya masuk. Ibunya, wajahnya penuh harapan. "Nak, sudah siap? Semua tamu sudah menunggu."
Sari mengangguk, namun jantungnya berdebar semakin kencang. Ingin rasanya ia berlari keluar, membatalkan semua ini. Tapi sekuat apapun hatinya menolak, kakinya tetap diam. Apakah ini takdirnya? Menjadi istri seorang kesatria, sementara hatinya masih penuh keraguan?
Saat dia berdiri dan menuju altar, setiap langkah terasa berat, seolah bumi menolak mengizinkannya berjalan. Di ujung altar, Bima menunggunya dengan senyum hangat. Namun, senyum itu justru membuat Sari semakin merasa bersalah. Bagaimana bisa ia menerima cinta dari pria setulus itu, sementara di dalam hatinya ia merasa tidak layak?
Ketika akhirnya ia berdiri di samping Bima, pandangan mereka bertemu. Seketika, segala keraguan yang ada di dalam diri Sari terasa semakin kuat. Namun, Bima mendekatinya dan berbisik di telinganya, "Aku tahu, Sari."