"Mereka semua adalah kelinci dalam hutan ini," kata Pardiman dengan suara datar, menatap mata Pak Wirya. "Dan aku adalah Raja Kelinci. Mereka akan mencari jalannya sendiri, Wirya. Kau tidak bisa memaksa mereka hidup dalam ketakutan akan dunia luar."
Pak Wirya terdiam sejenak. Kata-kata Pardiman menembus hati dan pikirannya, tapi kebencian sudah terlalu lama mengakar. "Tidak, kau hanya membuat mereka tersesat," katanya dengan nada rendah.
Di saat itu, tiba-tiba terdengar teriakan dari hutan. Giri muncul, terengah-engah, wajahnya dipenuhi ketakutan. "Ayah! Ada sesuatu di dalam hutan! Sesuatu yang besar! Aku melihatnya!"
Pak Wirya segera menghampiri anaknya, sementara warga desa menjadi panik. "Apa yang kau lihat, Giri?" tanya Pak Wirya dengan khawatir.
"Aku tidak tahu... seperti binatang buas... tapi ada yang aneh..."
Pardiman mendekat, menatap Giri dengan pandangan lembut. "Kau melihat bayangan dirimu sendiri, Giri. Apa yang kau lihat di hutan adalah bayangan dari dalam hatimu. Itu adalah ketakutanmu."
Pak Wirya menatap Pardiman, kini dengan rasa campur aduk antara marah dan bingung. "Apa yang kau bicarakan lagi, Pardiman? Ini bukan waktunya untuk filsafat!"
"Ini adalah waktu yang tepat," jawab Pardiman dengan tenang. "Hutan Kuru Vela selalu mencerminkan apa yang ada di dalam hati manusia. Jika kau masuk ke dalamnya dengan ketakutan, kau akan menemui ketakutan. Jika dengan kebencian, maka kebencian yang akan datang padamu."
Pak Wirya terdiam. Giri masih gemetar di sampingnya, tapi ketakutannya perlahan memudar. Para warga desa mulai tenang, menyadari bahwa bukan binatang buas yang mereka hadapi, melainkan konflik dalam diri mereka sendiri.
"Aku tidak ingin kehilangan anakku," kata Pak Wirya pelan, matanya mulai berkaca-kaca. "Aku hanya ingin dia tetap bersamaku."
Pardiman menepuk bahu Pak Wirya. "Kita semua adalah kelinci dalam hutan, Wirya. Kita akan tersesat jika tidak saling menjaga dan memahami. Hentikan kebencian ini, dan kita akan menemukan jalan keluar bersama."