OLEH: Khoeri Abdul Muid
Di sebuah desa terpencil di hutan Kuru Vela, tinggal seorang lelaki tua bernama Pardiman. Desa itu terisolasi, dikelilingi oleh hutan belantara yang seolah menjadi batas antara dunia luar dan masyarakat kecil yang hidup damai di dalamnya. Namun, di balik ketenangan itu, ada sesuatu yang tak terlihat---konflik yang terus membara di hati Pardiman, lelaki yang sebenarnya bukanlah lelaki biasa.
Orang-orang desa mengenalnya sebagai pemimpin spiritual yang bijaksana, meskipun sedikit aneh. Dia sering berbicara tentang masa lalu yang jauh, berbicara tentang seorang tokoh India bernama Veerdhamana. "Veerdhamana," kata Pardiman suatu hari kepada para pemuda desa, "hidup seratus tahun sebelum Buddha, dan ajarannya bisa meruntuhkan dunia ini jika kalian pahami dengan benar." Para pemuda hanya tersenyum tipis, menganggap ucapan Pardiman sebagai halusinasi orang tua yang sudah kehilangan nalar.
Namun, tidak semua orang melihat Pardiman sebagai orang bijak. Ada seseorang yang selalu merendahkan setiap kata yang diucapkannya. Namanya Pak Wirya, seorang tokoh desa yang keras dan tak percaya pada apa pun selain kekuatan fisik dan logika yang tampak jelas. Baginya, omong kosong tentang Veerdhamana, Dharta, atau ajaran-ajaran aneh dari masa lampau hanya mengalihkan perhatian dari pekerjaan sehari-hari.
"Untuk apa kita peduli tentang orang mati?" kata Pak Wirya setiap kali Pardiman mulai bercerita. "Kita punya ladang yang harus diolah, keluarga yang perlu diberi makan. Bukan dongeng dari masa lalu."
Konflik antara keduanya mulai mengakar. Pak Wirya sering berusaha menghentikan para pemuda dari mendengarkan cerita-cerita Pardiman. Dia percaya bahwa ajaran Pardiman membawa ketidakpastian dan bisa merusak tatanan desa. Sementara itu, Pardiman semakin gigih. Baginya, ajaran Veerdhamana adalah kunci menuju pembebasan jiwa, dan tidak ada yang lebih penting daripada menyebarkannya.
Suatu malam, saat bulan purnama menerangi hutan, terjadi peristiwa yang mengguncang desa. Anak Pak Wirya yang bernama Giri, salah satu pemuda yang selalu mendengarkan cerita Pardiman, tiba-tiba hilang. Desas-desus segera menyebar, dan Pak Wirya langsung menuduh Pardiman sebagai penyebabnya.
"Kamu telah meracuni pikiran anakku dengan cerita-ceritamu!" teriak Pak Wirya dengan marah, menggenggam tongkat besar dan berjalan menuju rumah Pardiman.
Pardiman yang tenang, duduk di beranda rumahnya sambil tersenyum samar. "Giri tidak hilang, Wirya. Dia sedang mencari kebenaran di dalam hutan. Sama seperti Veerdhamana meninggalkan keluarganya untuk mencari pencerahan."
"Apa omong kosong ini?" Pak Wirya membentak. "Anakku tidak butuh pencerahan! Dia butuh kenyataan. Kau akan kusesah sampai kau mengakui apa yang telah kau lakukan!"
Pak Wirya mengayunkan tongkatnya, tapi Pardiman dengan tenang menghindar. Para warga desa mulai berkumpul, menonton dengan cemas. Suasana semakin memanas. Beberapa pemuda yang mendukung ajaran Pardiman mencoba menenangkan Pak Wirya, tapi dia terlalu marah untuk mendengarkan.