Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Drama Kehidupan

21 September 2024   07:50 Diperbarui: 21 September 2024   08:14 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Di tengah malam yang gelap, hujan turun dengan derasnya, menetak-netak jalanan kota seperti serangkaian ketukan di atas piano tua. Suara gemericik air mengalun lembut, menembus celah-celah gubug yang reyot dan kumuh. Kaca jendela bergetar saat butir-butir air membanting, seolah mengundang setiap orang untuk merasakan kesedihan yang terpendam.

Dari dalam gubug, Rina duduk melipat kedua lututnya, menatap keluar. Hujan ini membawa serta kenangan yang menyakitkan. Langkah kakinya yang rapuh terasa semakin berat, seolah setiap tetes hujan menambah beban di pundaknya. Ia teringat mimpi-mimpi indah yang pernah mengisi hatinya—mimpi untuk menjadi guru, untuk mengubah nasib keluarganya, untuk melihat dunia yang lebih cerah. Namun, semua itu kini terasa jauh, seperti kapal yang berlayar menjauh di buritan malam.

“Bergeraklah, Rina!” bisik hatinya. “Jangan terjebak dalam kesedihan ini.” Namun, rindu pada masa lalu yang lebih baik semakin menderu, membuatnya merasa terperangkap dalam drama kehidupan yang tidak pernah ia pilih.

Di luar, hujan seperti tangan lembut yang mengusap wajahnya yang lusuh. Setiap tetes mengingatkan akan derita yang tak kunjung usai—darah, air mata, dan keringat yang mengalir dari generasi ke generasi. Hujan ini tidak hanya menghapus debu dan kotoran, tetapi juga menyiram benih-benih harapan yang mulai layu.

Rina mengalihkan pandangannya ke jalanan. Ia melihat sosok-sosok kecil, anak-anak yang mengenakan pakaian compang-camping, berlari menembus hujan, bermain dengan riang di tengah kepedihan. Mereka tampak tidak peduli dengan kesedihan dunia, seolah hujan adalah teman lama yang menyapa mereka. Hati Rina bergetar melihat keceriaan mereka. “Mereka adalah harapan,” pikirnya.

Namun, saat kilat menyambar dan guntur menggelegar, Rina teringat akan kepala-kepala besar di balik layar—para penguasa yang berkuasa, yang menciptakan derita di tengah kesenangan mereka. Mereka yang hidup dalam gedung-gedung megah, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan orang-orang kecil. “Kenapa mereka tidak melihat?” desahnya pelan. “Kenapa mereka tak mendengar jeritan kami?”

Semakin deras hujan, semakin tajam rasa sakit itu. Rina merindukan hari-hari ketika ia masih memiliki harapan dan impian. Ia teringat akan janji yang diucapkan kakeknya: “Kau harus terus berjuang, Rina. Mimpi tidak akan mati jika kau tidak membiarkannya pudar.”

Menjelang pagi, dengan tekad yang menggebu, Rina bangkit dari tempatnya duduk. Ia mengambil mantel usangnya dan keluar dari gubug. Hujan membasahi tubuhnya, tetapi ia tidak peduli. Setiap langkah yang diayunkan menghapus sedikit rasa berat di hati. “Jika hujan bisa membawa pesan, aku pun harus berani menulis ceritaku sendiri.”

Di tengah jalan yang becek, ia berlari menuju sekolah tempat ia mengajar. Mungkin hanya sedikit yang bisa ia ubah, tetapi setiap usaha berarti. Di bawah sinar matahari yang mulai menembus awan, ia merasa hidupnya kembali memiliki makna. Hujan bukan hanya pertanda kesedihan, tetapi juga harapan—seperti hujan yang menumbuhkan benih-benih yang tersembunyi di dalam tanah.

Rina tahu, perjalanan hidup ini adalah drama yang terus berlangsung. Ia tidak akan membiarkan siapa pun, terutama dirinya sendiri, menjadi pemeran utama yang terjebak dalam duka. Dengan langkah pasti, ia berlari menuju masa depan yang lebih cerah, berani mengukir ceritanya di tengah derasnya hujan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun