Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

Sebelum diangkat menjadi abdi negeri, pernah mengajar di SMA TARUNA NUSANTARA MEGELANG. Sekarang mengguru di SDN Kuryokalangan 01, Dinas Pendidikan Kabupaten Pati Jawa Tengah, UPTKecamatan Gabus. Sebagian tulisan telah dibukukan. Antara lain: OPINI GRASSROOT SOAL PENDIDIKAN GRES; Si Playboy Jayanegara dan Bre Wirabhumi yang Terpancung. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id. HP (maaf SMS doeloe): 081226057173.

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

Baron Sekeber Gage Go! #2

11 September 2017   02:15 Diperbarui: 11 September 2017   02:52 546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

by: Khoeri Abdul Muid

"Suli, Suli...!" panggil Jinten separoh berbisik, sembari bangkit mendekat menghampiri. Lalu, duduk mepet bersanding.

"Ada apa to, Lik. Kok begitu serius?"

"Iya. Mumpung tidak ada orang!"

"E, e, e! Kalau begitu, saya dan Lik Jinten ini bangsannya demit pa, ya?!" goda gurau Suli menetralisir hawa keseriusan yang dihembuskan Jinten yang sedikit menerpa perasaannya.

"Eiisss! Selengekan kamu, Suli! Maksudku, di sendang sini ini, yang ada hanya aku dan dirimu saja! Begitu," sambung Jinten terjebak gurauan Suli.

"Kok, seperti mau rembugan perkara yang rahasia, yang mesti takut diketahui orang lain saja, Lik?!" ujar setengah tanya Suli, masih berbau gurauan tapi sudah ikut-ikutan serius dengan memperendah suara. Bermaksud, menarik kembali arah pembicaraan pada jalur semula. Lantaran Suli pun diam-diam penasaran, apa yang mau dibicarakan Jinten padanya.

"Memang iya, je, Suli. Mmm, itu lho. Kok sayup-sayup ada kabar, kamu akan dimadu Ki Gedhe Kemiri. Apa itu benar?" tanya Jinten 'to the point', langsung pada inti soal.

Menghadapi pertanyaan itu ekspresi Suli berubah, ogah. Tak lagi antusias.

Bagi Suli, tema itu merupakan sesuatu yang traumatik banget. Menyebalkan. Menjijikkan!

Setarikan dua tarikan Suli menelan dan menghela napas.

"Ah, entah, Lik! Na'ib pergi ke toko Luwes. Nasib kalau baru apes," jawab Suli dingin. Menahan emosi dan berusaha berpikir jernih dengan menyitir pantun khas Jawa: parikan.

"Maksudmu?"

"Sepertinya dunia ini kok baru membenciku. Tidak memihak aku. Anak janda, melarat. Masih dikejar-kejar kakek-kakek bau tanah, lagi. Huh. Dasar kalau diri tidak punya untung!" jawab Suli sedih. Sorot matanya menyendu. Menerawang.

"Hus. Jangan gitu!" sergah Jinten. Menghentikan hanyut nuansa perasaan frustasi Suli. "Begini, Suli. Orang itu jangan mengapeskan diri. Jangan putus asa. Ha mbok diterima saja Ki Gedhe-nya itu. Jangan melihat tuanya, dong. Tapi, anunya..." nasihat yang berujung bujuk Jinten, dengan gaya gembira, berapi-api. Lalu, mengangkat tangannya. Sembari ibu jarinya yang bantet itu digesek-gesekkan dengan telunjuk. Maksudnya, yang penting uangnya!

"Wooo, terangnya Lik Jinten ini menjadi maklar Ki Gedhe Kemiri, to!? Walah, Lik... Tunggu tenggelamnya perahu gabus atau busuknya kaca, ya!" tukas ketus Suli dengan serong bibir. Sewot.

"Jangan salah paham lho, Suli. Kok aku malah kamu anggap maklar itu bagaimana?" jawab tanya berfrekuensi rendah Jinten. Ia berkilah dan meredam kekacauan. Meski tetap saja ia coba merayu dan mendesak Suli kembali. "Maksudku sebenarnya ingin memuliakan hidupmu, Suli. Menjadi istri Ki Gedhe sama dengan menyurgakan dirimu juga ibumu lho. Kamu pasti dibuatkan rumah besar. Dimanja dan dituruti keinginanmu! Coba, hidup itu apa sih yang dicari, Suli? Hei?"

Jinten mencoba menyeret Suli untuk hanyut dalam pandangan materialisme. Bahwa segala sesuatu ukurannya materi. Termasuk kebahagiaan.

"Mbelll! Tak sudi!!!" tanggap cadas Suli sambil membuang muka. Tak lagi mau melihat wajah Jinten. Karena bagi Suli, kini wajah Jinten telah berubah menjadi wajah Ki Gedhe Kemiri.

"Wooo, benar-benar akan menjadi perawan tua, kamu, Suli! Tidak akan ada pemuda yang berani mendekatimu. Karena takut sama Ki Gedhe!" hardik kesal bercampur putus asa Jinten. Lantaran gagal total membujuk Suli.

Bergegas cuciannya dikemasi. Lalu, berselingker pulang, sembari menumpahi, "Tidak mendengar omonganku? Benar-benar akan nelangsa hidupmu, nDhuuuuuk!!!"

"Biarin! Tidak laku nikah tidak masalah!" balas tak gentar Suli, gigih membela idealisme cinta. Tak kalah sewot. Suli pun terengginas berkemas menggendong buyung. Pulang.

Jinten sudah jauh berjarak.

Tiba-tiba Suli dikejuti oleh sosok laki-laki asing dari semak-semak arah samping!

Polah laki-laki itu kesetanan. Terhuyung-huyung. Pura-pura mabuk kehausan. Celoteh dari bibirnya, "Hmh, hauuusss!  Aku hauuusss! Oh, air, air! Itu aiiiiir!!!"

Tanpa permisi ia sambar mulut buyung. Dan, diteguk airnya.

Kontan tubuh Suli ikut tergoncang.

Ribut. Tarik-menarik. Tahan Suli, "Huh, jangan seperti ini! Di sendang itu kan ada air, to!!!"

Laki-laki itu cuek saja. Hingga buyung Suli pun jatuh. Terbentur batu. Pecah berkeping-keping.

"Aduh, buyungnya jatuh," nyinyir datar laki-laki. Malah tak acuh telah bersalah. Permisivisme, egois dan semena-mena.

            Sementara Suli terbelalak. Jeritnya, "Hah, celaka! Buyungku satu-satunya pecah?!!! Wooo, tidak tahu aturan!!!" Suli mengamuk. Melempari si pembikin onar dengan perca-perca buyung. "Huuu, kamu ini bikin perkara saja. Betapa marahnya Simbok. Wong air dinanti-nanti untuk minum kok buyungnya kamu pecahkan. Terus bagaimana aku, ha?! Benar-benar menyebalkan, kamu!!!"

            "Ohhh. Mmm. Maafkan aku, manis. Aku tak sengaja," rayu alibi laki-laki yang sedari tadi telah menyadap pembicaraan Suli-Jinten. Dan, sengaja hendak memanfaatkannya. Untuk 'memperkosa' jiwanya.

"Ngawur! Wong namaku Suli kok diundang Manis. Manis itu tetanggaku!" bentak Suli polos.

Tapi justru karena kepolosannya itu kini ia masuk perangkap. Arus pertengkaran berbelok arah. Tak lagi menyoal buyung. Dan, malah beralih ke 'salah paham soal nama'. Bahkan Suli sadar atau tidak, justru mengenalkan diri.

Itu artinya sesifat magnet tak senama: tarik-menarik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun