Seratus meter arah selatan rumah mertua baru, yang juga tempat tinggal baru saya, ada sebidang halaman dari sebuah gedung bekas gudang beras KUD (Koperasi Unit Desa), produk ORBA (Orde Baru) yang sekarang dalam kondisi sekarat permanen.
Meski gedungnya tak terawat, tapi halamannya relatif bersih karena dipakai penduduk untuk membuka warung-warung kecil yang dilengkapi TV dan cangkruk-cangkruk, semacam gazebo.
Dan, di situlah, beberapa hari yang lalu, ada perhelatan spontan ala nobar (nonton bareng) pertandingan semifinal piala AFF leg 1 antara kesebelasan tuan rumah, Indonesia vs Vietnam.
Sebagaimana halnya karakter kita, (ya, kita) orang Indonesia pada umumnya, segera bisa melupakan dan memaafkan kekecewaan atas tim kebanggaannya yang dipecundangi Thailand, di awal-awal perhelatan.
Kali ini kita hadir kembali di stadion maya (halaman plus TV) itu tentu demi kemenangan Indonesia. Dan, Alhamdulillah. Kegairahan kitapun terbayar. Indonesia menang tipis 2-1.
EFEK KARAMBOL
Kali ini bukan soal kalah-menangnya pertarungan itu yang menjadi titik pesona saya. Tapi justru ‘sekedar’ kegairahan nobar itu, euforia itu, dan mungkin, nasionalisme itu yang hebat.
Dalam koridor durasi 90 menitan, secara sporadis kita energik bertingkah liberal layaknya suporter fanatik, bahkan bagaikan garis keras bola ala Indonesia.
Terkadang berteriak-teriak, berjingkrak, menghujat tim lawan, ataupun menyayangkan dengan semena-mena (maido: Jw) pemain tim sendiri yang membuat kesalahan atau gagal mencetak goal ke gawang Vietnam.
Lain dari soal penilaian berisik, mengganggu lingkungan, kurang intelek, tidak normatif atau apalah, ini debatebel.
Di persepsi saya, kayak-kayaknya, ia-lah berkorelasi dengan karambol (keberuntunan) efek samping dari event olahraga.
Ya. Olahraga, sebagaimana makna sederhananya ---suatu aktivitas yang dapat menyehatkan diri dari luar maupun dari dalam atau lebih dikenal dengan nama sehat jasmani rohani itu, bila bersentuh dengan pembisnis dan penghibur maka efek karambolnya, aduhai, sungguh luar biasa.
Tradisi cerita suskses penyelenggaraan event 4 tahunan Olympiade, Asian Games, PON, World Cup, dan event 2 tahunan Sea Games misalnya, adalah bukti nyata fenomena itu.
Efek adalah akibat. Sebagaimana obat, efek utamanya menyembuhkan, tapi ia juga memiliki efek samping.
Tak kurang, olahragapun demikian. Bahkan, terkadang justru efek sampingnya yang berkarambol dan menggelinding bak bola salju, melebihi pamor efek utamanya.
Bukan ‘sekedar’ menyehatkan, tapi pula menyangkut fenomena kegairahan para tetangga dan teman-teman saya itu, misalnya. Pun, bukan hanya linier pada garis efek postif saja, tapi juga mungkin negatif.
Pertanyaannya adalah mengapa dalam olahraga yang bernilai dasar sportifitas, efek-efek samping itu bisa terjadi?
Ya. Pada awal-awal perlu dijelaskan bahwa sejatinya, aktivitas sehari-hari kita selama ini ini dan sekarang inipun tanpa disadari itu sudah merupakan aktivitas berolahraga. Akan tetapi, karena determinasi bisnis, maka acapkali olahraga harus dikonsepsikan sebagai aktivitas fisik yang dilembagakan.
Argumentasinya, pertama, olahraga memerlukan aktivitas fisik dalam bentuk keahlian, keberanian dan pengerahan tenaga. Kedua, olahraga melibatkan persaingan berdasarkan seperangkat aturan resmi (Vic. Duke, University of Salford).
Dalam konteks konsepsi ini, kajian sosiologi olahraga (sociology of sport) berkembang dalam dua angel yang bersifat diametral. Namun dalam tataran empirik, keduanya justru sama-sama aktual dalam fenomena kekinian.
Teori fungsional berpandangan bahwa olahraga bermanfaat bagi masyarakat, karena dapat mendorong integrasi sosial, men-sosialisasikan individu agar mematuhi aturan, dan mem-fasilitasi pelepasan ketegangan dan menyalurkan sifat agresif.
Tema: Green, Clean dan Friendship, sebagaimana diusung Sea Games Myanmar 2013 yang lalu misalnya, jelas salah satu bukti up-date teori ini.
Kemudian, teori konflik yang notabene berasal dari pemikiran Marxis tradisional, menegaskan bahwa olahraga merupakan candu yang membuat orang lari dari persoalan sehari-hari.
Dan, secara kasuistis ada benarnya. Berapa saja pasangan keluarga yang harus bertengkar bahkan bercerai gara-gara kecanduan olahraga, atau setidaknya terkena efek karambolnya, seperti kelana fans club fanatik yang berlebihan, atau perjudian?
Teori ini memandang bahwa organisasi olahraga menanamkan disiplin kerja, mendorong agresi individualisme dan persaingan yang kejam, yang merupakan ciri-ciri yang dianggap menguntungkan bagi keberhasilan ekonomi kapitalis (Brohm, 1978).
Mungkin juga kasuistis, tapi sejarahpun membuktikan, bahwa dibalik gemerlap industri olahraga, telah berapa saja atlet yang harus mengalami cedera abadi atau bahkan mati di medan laga olahraga, karena aroma agresi individualisme dan persaingan yang kejam itu.
Sebutlah, Muhammad Ali, legendaris tinju dunia, yang harus menderita sindrom parkinson yang tak kunjung sembuh, sebelum akhirnya maut menjemputnya. Atau, Duk Koo Kim petinju kelas dunia asal Korea Selatan yang harus mati di ring tinju pada 1982.
Atau, di negeri kita sendiri. Bahwa semenjak merdeka, tidak kurang dari 30 petinju sekarat di atas ring. Mulai dari Jimmy Koko pada 1948 hingga Tubagus Setia Sakti yang bertarung pada 26 Januari 2013, TKO dan koma, serta keesokan harinya tewas di RS UKI Cawang Jakarta.
Kemudian, di cabang balap motor, juga menorehkan catatan kelam dengan kematian Marco Simoncelli, Shoya Tomizawa, Daijiro Kato dan Ivan Palazzese.
Di cabang sepak bola, suatu cabang yang relatif aman, ternyata juga menewaskan banyak pemain top kelas dunia seperti Marc-Vivien Foe pemain Timnas Kamerun pada 2003, Antonio Puerta pemain club Sevilla pada 2007, John Tomson kiper Glasgow Celtic pada 1993, Hugo Cunha club Portugal 2005,Marcio Dos Santos Brasil 2002, Samuel Okwaraji jepang pada 1989 dan masih ada catatan yang lainnya.
Dan, lucunya, di balik realitas tragis itu semua, justru tidak sedikit borju yang bergelimang mengkapitalisasi kekayaan dari olahraga yang dilembagakan itu.
Tengoklah kemegahan kerajaan bisnis olahraga ala promotor nomor wahid dunia, Don King (USA, 1931); Tim-tim perekurt riders Repsol Honda, Fiat-Yamaha, dan juga bos-bos pemilik club sepak bola terkaya di dunia seperti Carlos Slim (Mexico), Amancio Ortega (Spanyol), Alisher Usmanov (Rusia), George Soros (Pria keturunan etnis Yahudi), Paul Allen (Pria yang merupakan pendiri Microsoft). Dan, juga fenomena baru pengusaha Indonesia ErickThohir yang mampu membeli raksasa club Inter Milan.
Dalam kerangka menatap peradaban masa depan, pertanyaan lanjutannya adalah, haruskah pelembagaan olahraga di bawah hegemoni bisnis ini dipertahankan?
Jikapun tidak bisa dihindari, lalu pertanyaan pentingnya ialah, bagaimana mencegah efek karambol  negatif yang berlebihan dari pelembagaan olahraga ini? Dan, bagaimana mendudukkan kembali letak hakikat olahraga yang seduduk-duduknya, yang notabene meng-absyahkan senam asal ‘kroyak’, juga jingkrak-jingkrak ala suporter bola para tetangga saya itu sebagai sebuah kategori olahraga, ----di persepsi masyarakat dunia? ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H