Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kyai Janur Kuning (03)

6 Desember 2016   07:37 Diperbarui: 6 Desember 2016   08:11 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Di pendapa atau balai penghadapan kraton Pendhawan, Prabu Mengkuwaseso duduk gagah di singgasana, didampingi Permaisuri Ajengastuti. Telah pula menghadap Patih Wiro, Waskito, Pangeran Sancoyo dan lain-lainnya.

Dengan wibawa, Prabu Mengkuwaseso  membuka penghadapan itu.

“Rekyana Patih Wiro… Saya minta unjuk pelaporan, bagaimana kabar keadaan penghadapan ini?”.

“Mohon ijin lapor, Tuan Prabu Mengkuwaseso… Bila salah mohon maaf, Tuan Prabu… Seluruh saudara istana, para pegawai pamong praja, termasuk para bupati bawahan, serta segenap komandan prajurit dalam segala tataran…, sudah hadir menghadap, siap menerima perintah Tuan Prabu… Tetapi, mohon maaf, Tuan Prabu. Kanjeng Pangeran Basoko tampaknya, belum kelihatan hadir, Tuan Prabu…”.

Prabu Mengkuwaseso berdeham, lalu menengok ke arah Permaisuri Ajengasututi, “Kanjeng Permaisuri Ajengastuti… Bagaimana koq putramu, Basoko menyepelekan undangan saya?!?.

Permaisuri Ajengastuti menjawab dengan ekspresi khawatir, “Mohon maaf beribu maaf, Tuan Prabu… Mungkin saja Nak Mas Pangeran Basoko agak telat datang, Tuan Prabu…”.

“Ya, tidak apa-apa…. Kepada semua saja yang hadir. Di acara penghadapan ini, saya berniat membahas bab estafet pemegang kendali kekuasaan kerajaan Pendhawan… Saya sudah berumur. Ibarat matahari, maka matahari yang dekat dengan arah terbenamnya, sudah terlalu jauh berjarak dari terbitnya. Saya merasa sudah pikun, yang bisa menjadikan saya dalam menjalankan roda kekuasaaan menjadi serba-serbi tumpang tindih… Maka demi kebaikan kerajaan Pandhawan, saya berkehendak turun keprabon, berhenti berkuasa. Sementara yang saya pandang dan saya pilih melanjutkan kedudukan saya yaitu anak saya Pangeran Waskito”.

Mendengar dirinya ditunjuk menggantikan Ayahanda Prabu segera saja Waskito yang putra nomor dua ini mohon ijin menyampaikan permintaannya.

“Mohon maaf, Ayahanda Prabu… Bukannya nanda berani melawan perintah Ayahanda Prabu… Tapi Ayah Prabu sendiri mengetahui bahwa selama ini nanda sudah menerima panggilan jiwa, menjadi guru di padhepokan Watugung… Maka dari itu nanda ingin lepas dari belenggu dunia yang sungguh bikin sengsara Ayahanda Prabu… Tekad nanda cukup mencerdaskan kehidupan bangsa Ayahanda Prabu… Jadi, mohon maaf beribu maaf, nanda terpaksa tidak bisa menjalankan perintah Ayahanda Prabu…”.

“Waskito… jikalau kamu memang keberatan untuk melepas tugas keguruanmu, tidak masalah, bisa saya terima… Tapi sewaktu-waktu kamu tidak boleh ganggu gugat kepada siapapun yang aku pilih menjadi pengganti kedudukanku, Waskito…”.

“Ya, Ayahanda Prabu… Bahkan nanda berjanji bahwa nanda akan setia membela tanah tumpah darah dan juga raja Pandhawan ini demi tata tenteram dan kesejahteraan Negara,Ayahanda Prabu…”.

Setelah mendengar dan memahami penolakan Waskito Prabu Mengkuwaseso berganti wicara dengan Patih Wiro.

“Rekyana Patih Wiro… Kita memahami permintaan Waskito yang demikian… Maka laksanakan seremoni perintah-perintah saya… Bahwa pada hari wisuda ini saya tetapkan, anak saya Pangeran Sancoyo menggantikan kedudukan saya sebagai raja Pandhawan…!”

Selesai bersabda penting demikian, Prabu Mengkuwaseso turun dari singgasana, menyerahkan keris yang dikenakannya kepada Patih Wiro. Sementara Permaisuri ikut berdiri mendampingi Prabu Mengkuwaseso.

Setelah mengangkat sembah dan menerima keris, Patih Wiro berdiri menghunus bilah keris, kemudian diangkat tegak lurus di depan jidatnya sembari berucap, “Jelas perintah Tuan Prabu Mengkuwaseso…!  Demi untuk menjaga keberlangsungan, keselamatan dan kesejahteraan kerajaan Pandhawan, Yang Mulia Tuan Prabu Mengkuwaseso berkenan turun tahta… Mengingat dan menimbang, berdasarkan wewenang dan kebijaksanaan…, maka Kanjeng Pangeran Sancoyo ditetapkan, dilantik menjadi Raja di Pandhawan, dengan anugerah gelar Prabu Sancoyo...!”.

Puncak upacara penobatan raja tersebut langsung disambut suara gamelan yang bertabuh bertalu-talu, ditingkah gegap gempitanya sorak-sorai para punggawa kerajaan.

Pangeran Sancoyo bangkit, berdiri, mengenakan keris yang dipersembahkan Prabu Sepuh (mantan raja) Mengkuwaseso melalui Patih Wiro. Lalu mengangkat sembah hormat kepada Prabu Sepuh Mengkuwaseso dan Permaisuri Sepuh Ajengastuti serta sembah hormat pada singgasana, tanda memuliakan sibul kerajaan, yang kemudian didudukinya.

Sementara Patih Wiro mengangkat sembah hormat untuk kembali duduk. Dan, Prabu Sepuh Mengkuwaseso serta Permaisuri Sepu Ajengastuti berdiri mengapit Prabu Sancoyo.

“Tidak!... Tidak bisa!...”.

Kemunculan teriakan itu membelah kekhidmadan upacara penobatan raja Prabu Sancoyo.

BERSAMBUNG.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun