Membaca situasi yang tidak menguntungkan bagi Jendral Mohamad yang sohib sekongkolnya itu, segera saja Minister Saul Mahmud mem-followup persidangan.
“Ampun, Tuan Sultan… Orang ini perlu diberi imbal jasa. Dan, menurut hamba, pantas orang ini diberi uang 10 Riyal untuk bekal hidup, Tuan Sultan…”.
“Jangan hanya 10 Riyal. Ditambah 20 Riyal menjadi 30 Riyal”, timpal Sultan Abdul Aziz mengikuti logika Minister Saul Mahmud.
“Ampun, Kanda Sultan… Kanda Sultan jangan terseret pada retorika Minister Saul Mahmud yang menurut saya materialistic dan naïf itu. Karena nyawa saya tidak sepadan dengan harga 30 Riyal. Toh, di pasar tidak ada yang menjual nyawa kan, Kanda Sultan..?”,pertanyaan bernada sangkalan Siti Rokhana sembari berkaca-kaca lensa matanya.
“Jika Kanda Sultan berkenan… Saya mohon Sadi si penolong saya ini dianugerahi pangkat sebagai pengawal pribadi saya, Kanda Sultan”.
“Baiklah, kau Sadi… Mulai saat ini kamu kuberi pangkat sebagai pengawal pribadi Adikku Siti Rokhana dengan gelar Bei. Dan, saya perkenankan berkantor di Taman Hertantun. Bagaimana, Sadi Bei?”.
“A… ampun… Ha ha.. hamba bagai kejatuhan bulan, Tuan Sultan…”.
“Baiklah, persidangan saya tutup”, titah Sultan sembari meninggalkan bangsal utama menuju ruang pribadi dengan dikawal para ajudan pribadinya.
Sementara itu, yang lain bubar, menuju tempat tugas masing-masing.
“Dinda Jendral, kenapa hari ini kau nampak bodoh sekali?”, cercaan kalem Minister Saul Mahmud kepada Jendral Mohamad sembari berjalan berdampingan.
“Entahlah, Kanda Minister… Sedang bebal otak aku ini, Kanda…”, jawab Jendral Mohamad sekenanya sambil menampar sendiri dahinya.